Etnis Cina Perantauan Di Aceh

· Yayasan Pustaka Obor Indonesia
4,0
3 recenzie
E‑kniha
422
Počet strán
Hodnotenia a recenzie nie sú overené  Ďalšie informácie

Táto e‑kniha

Hubungan antara Indonesia, khususnya Aceh dengan Dataran Cina dimulai semenjak lancarnya transportasi laut. Kontak budaya antara Cina dan Aceh secara diplomasi diawali pada abad 13 dan 15 M. Pada suatu lawatan utusan diplomat Cina pergi ke Aceh menyerahkan Lonceng Cakradonya kepada Raja Aceh pada tahun 1409 M, sebagai lambang persahabatan. Sebaliknya Raja Aceh mengirimkan utusan Aceh (Duta Besar) ke Cina yaitu Zainal Abidin Dan khususya pada Musim dingin tahun ke 1413 berlayarlah utusan Cina ke Samudra termasuk ke Aceh. Hubungan diplomasi dibarengi dengan hubungan bisnis yang saling menguntungkan sehingga kedua bangsa tersebut terjalin atas dasar saling menghargai. Selanjutnya setelah terjadi kekacauan politik dan ekonomi di Daratan Cina, sehingga mengakibatkan migrasi besar-besaran orang Tiongkok ke Nanyang (Asia Tenggara), sehingga masyarakat Cina terpaksa mengadu nasibnya di Nusantara dengan bekerja apa saja asal dapat mempertahankan hidupnya di perantauan.

Bekerja tanpa kenal lelah membuat etnis Cina perantauan berhasil dalam bidang ekonomi, politik dan budaya. Fenomena tersebut terlihat etnis Cina dipandang oleh Belanda sebagai kelas menengah bersama Timur Asing lainnya. Di bidang politik etnis Cina dapat menyatukan dirinya dengan pemerintah setempat seraya mempertahankan edentitas kecinaan mereka. Sedangkan identitas Cina sebelum dan setelah kemerdekaan Indonesia mempnyai identitas ganda yaitu identitas Indonesia dan Cina. Pada masa revolusi kebudayaan di Cina pada tahun 1966 terjadi perubahan besar-besaran di Cina dan berpengaruh terhadap Cina di Indonesia. Karena waktu itu etnis Cina dianggap berhaluan komunis. Sedangkan komunis adalah sangat dibenci di Indonesia. Akhirnya pudarlah kebudayaan Cina termasuk di Aceh. Etnis Cina di Aceh pada peristiwa komunis mereka sebagian hijrah ke Medan Sumatra Utara dan pulang ke daratan Cina. Dan yang lainnya menetap di Aceh. Etnis Cina di Aceh mayoritas suku Khek, dan berbahasa Khek bersama etnis mereka. Sedangkan bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa kedua. Dan sebagian dari mereka dapat berbahasa Aceh bila bermitra bisnis dengan orang Aceh. Etnis Cina yang tinggal di tempat pecinaan sangat sedikit yang dapat berbahasa Aceh. ​

Hodnotenia a recenzie

4,0
3 recenzie

O autorovi

Mempelajari Manajemen akademik di Universitas McGill, Kanada tanggal 12 Mei sampai dengan 8 Juni 2008.

Pada tahun 1992 penulis mengikuti Pelatihan Studi Purna Ulama (pelatihan bahasa) selama satu tahun, di IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Tahun 1998 mengikuti kursus bahasa Inggris, di IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Sambil kuliah di Pascasarjana tahun 2001 mengikti pelatihan editorial buku selama dua bulan di Bandung. Tahun 2002 kursus bahasa Mandarin selama dua bulan di Bandung dan selama penelitian penulis juga belajar budaya dan bahasa Mandarin di Banda Aceh. Pada tahun 1993 penulis diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Tahun 1996 diangkat sebagai Dosen Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry. Tahun 1998 sampai tahun 2000 penulis diangkat sebagai Sekretaris Jurusan KPI (Komunikasi dan Penyiaran Islam) di Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Saat ini dipercaya sebagai Sekretaris Pusat Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Islam (P3KI). Pada bulan Juni 2007 diangkat sebagai Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) di Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Selain menekuni dunia akademik penulis selama kuliah aktif juga dalam kegiatan sosial dan keagamaan.

Sebelum menyelesaikan kuliah di Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry, penulis sudah tertarik mendalami kebudayaan Tionghoa yang unik. Menjelang selesai kuliah penulis sering mengisi rubrik kampus/Opini di Harian Analisa yang merupakan salah satu koran milik keturuan Tionghoa di Medan. Penulis juga mengisi rubrik opini Harian Serambi Indonesia Banda Aceh. Selain menulis di koran, penulis telah merampungkan karya ilmiah yang telah diterbitkan adalah Kampus sebagai Institusi Pencerahan, diterbitkan oleh Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh, Desember 2001 dan Sejarah Peradaban Aceh diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia Januari 2003, dan Etnik Tionghoa Dalam Pertarungan Bangsa diterbitkan oleh IAIN AR-Raniry, 2006. Selain menulis di surat kabar dan menulis buku, penulis juga menulis di beberapa Jurnal di antaranya Jurnal Albayan, Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry. Penulis tertarik mempelajari budaya dan peradaban Tionghoa karena budaya dan peradaban negara Han tersebut merupakan salah satu peradaban tertua dunia sekaligus akan menguasai dunia.

Ohodnoťte túto elektronickú knihu

Povedzte nám svoj názor.

Informácie o dostupnosti

Smartfóny a tablety
Nainštalujte si aplikáciu Knihy Google Play pre AndroidiPad/iPhone. Automaticky sa synchronizuje s vaším účtom a umožňuje čítať online aj offline, nech už ste kdekoľvek.
Laptopy a počítače
Audioknihy zakúpené v službe Google Play môžete počúvať prostredníctvom webového prehliadača v počítači.
Čítačky elektronických kníh a ďalšie zariadenia
Ak chcete tento obsah čítať v zariadeniach využívajúcich elektronický atrament, ako sú čítačky e‑kníh Kobo, musíte stiahnuť príslušný súbor a preniesť ho do svojho zariadenia. Pri prenose súborov do podporovaných čítačiek e‑kníh postupujte podľa podrobných pokynov v centre pomoci.