"Maaf, ya, Dek. Jatah untukmu memang segitu sekarang. Pengeluaranku makin banyak. Aku juga jadi pusing tujuh keliling," jawab suamiku.
"Lah, kok bisa?" Aku membulatkan kedua mataku.
"Iya, Dek. Ibu menyuruhku bayarin kuliah Astrid -- Adikku. Mana dia baru masuk, biayanya juga nggak sedikit."
Aku menghela napas panjang. Aku kecewa dengan suamiku, bisa-bisanya dia bicara seenak jidat seperti itu, sementara aku tak pernah diajaknya diskusi soal keuangan.
Mentang-mentang ia tahu kalau aku sekarang sudah punya penghasilan dari bisnis online. Aku inginnya penghasilanku itu tetap menjadi milikku. Tapi malah aku yang ikut menafkahi keluarga ini.
"Mas, kok nggak bilang-bilang kalau mau biayain adikmu?"
"Ya, terserah aku dong. Kan mereka orang-orang terdekatku sebelum ada kamu, Dek. Jadi wajar aku membantu mereka," jawabnya.
"Kamu dzolim, Mas. Gaji sepuluh juta, tapi istri hanya diberi dua juta saja dengan beban dua anak. Kamu malah mentingin ibu dan keluargamu!" Aku pergi meninggalkannya ke kamar.
"Hei, kamu jangan jadi istri durhaka. Terima aja yang diberi suami," katanya sambil berteriak di depan kamar kami.
Beruntung anak-anak sedang tak ada di rumah. Kutumpahkan emosiku dengan menangis. Saat ini aku bertekad pula akan menghasilkan uang lebih banyak darinya.
'Awas kamu, Mas. Akan aku buktikan padamu kalau aku tak butuh lagi uangmu. Aku bisa berpenghasilan lebih banyak darimu!' gumamku.