ISLAM TANPA MAZHAB

·
· Almuqsith Pustaka
4,4
14 reseñas
eBook
55
Páginas
Las valoraciones y las reseñas no se verifican. Más información

Información sobre este eBook

Ada orang yang beragama terkesan tidak bermazhab, tapi sejatinya mereka bermazhab. Hanya saja mereka tidak mampu menjelaskan ke-bermazhaban-nya karena tidak pernah ngaji (belajar) secara serius soal rincian ilmiah cara beragama. Mereka sholat pakai mazhab, puasa pakai mazhab, haji pakai mazhab, dan seterusnya. Ketika ditanya ikut mazhab siapa, mereka tidak bisa menjawab. Inilah yang disebut sebagai orang awam dalam ilmu-ilmu agama.  

Salahkah mereka? Tidak. Selama menjalankan semua itu untuk diri sendiri, maka mereka tidak bersalah. Meski demikian, seharusnya setiap Muslim tahu dari siapa (imam mazhab) dia mengambil ilmu urusan agamanya, mengikuti mazhab siapa. Muslim model ini adalah sebagian besar.  

Mazhab dalam Islam dibangun berdasarkan akumulasi pemikiran dari generasi ke generasi. Dimulai dari guru utamanya, yaitu Nabi Muhammad SAW, para sahabat, tabiin, tabiit-tabiin, ulama mazhab dan seterusnya, sampai generasi sekarang ini. Jadi tidak bisa Anda beragama kemudian mengaku guru Anda adalah Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya secara langsung. Apalagi kemudian ceramah ke sana ke mari.  

Para ulama sepakat akan pentingnya bermazhab dalam beragama. Sebagian mereka bahkan menganggap beragama tanpa bermazhab adalah kemungkaran. Dalam kitab Aqdul Jayyid fi Ahkam al-Ijtihad wa at-Taqlid, hal 14, Syah Waliyullah ad-Dahlawi al-Hanafi (w 1176 H.) menyatakan: “Ketahuilah bahwa bermazhab (pada salah satu dari empat mazhab) adalah kebaikan yang besar. Meninggalkan mazhab adalah kerusakan (mafsadah) yang fatal.” Pernyataannya ini didasari beberapa alasan:

Pertama, ulama sepakat bahwa untuk mengetahui syariat harus berpegang teguh pada pendapat generasi salaf (Nabi dan sahabat). Tabiin berpegang teguh pada para sahabat. Tabiit-tabiin berpegang teguh pada para tabiin. Demikian seterusnya: setiap generasi (ulama) berpegang teguh pada generasi sebelumnya. Ini masuk akal, karena Syariat tidak bisa diketahui kecuali dengan jalan menukil (naql) dan berpikir menggali hukum (istinbath).  

Tradisi menukil (naql) tidak bisa dilakukan kecuali satu generasi (ulama) menukil dari generasi sebelumnya (ittishol). Dalam berpikir mencari keputusan hukum (istinbath) tidak bisa mengabaikan mazhab-mazhab yang sudah ada sebelumya. Ilmu-ilmu seperti nahwu, sharf, dan lain-lain tidak akan bisa dipahami jika tidak memahaminya melalui ahlinya.  

Kedua, Rasulullah SAW bersabda: عليك بالسواد الأعظم “Ikutilah golongan yang paling besar (as-sawad al-a’zham).” Setelah saya mempelajari berbagai mazhab yang benar, saya menemukan bahwa empat mazhab adalah golongan yang paling besar. Mengikuti empat madhzab berarti mengikut golongan paling besar.  

Ketiga, Karena zaman telah jauh dari masa awal Islam, maka banyak ulama palsu yang terlalu berani berfatwa tanpa didasari kemampuan menggali hukum dengan baik dan benar. Banyak amanat keilmuan yang ditinggalkan oleh mereka, dan mereka berani mengutip pendapat generasi salaf tanpa dipikirkan. Mereka mengutipnya lebih didasari oleh hawa nafsu belaka.  

Ayat-ayat Alquran dan sunnah langsung dirujuk, sementara mereka tidak memiliki otoritas keilmuan untuk istinbath. Mereka terlalu jauh dibanding para ulama yang benar-benar memiliki otoritas keilmuan dan selalu berpegang teguh pada amanat ilmiah. 

Kenyataan ini persis dengan apa yang dikatakan Umar ibn Khattab, “Islam akan hancur oleh perdebatan orang-orang yang bodoh terhadap Alquran.” Ibnu Mas’ud juga berkata, “Jika kamu ingin mengikuti, ikutilah orang (ulama) terdahulu (yang memegang teguh amanah ilmu pengetahuan).” Wallahu a'lam…

Valoraciones y reseñas

4,4
14 reseñas

Acerca del autor

Syaikh Zahid al-Kautsary merupakan syaikhul Islam terakhir pada masa kekhalifahan Turki Usmani. Imam Muhammad Zahid al-Kauthari dilahirkan di desa Dozjah sekitar tiga batu dari arah timur daerah Astanah, Turki pada 27 Syawal 1296 Hijriah/1878 Masihi. Gelar al-Kauthari dinisbahkan kepada sebuah desa bernama Kauthari di daerah Dhuffah yang merupakan wilayah al-Qauqaz,. Tetapi dalam riwayat lain, gelar tersebut merupakan nisbah kepada salah satu nenek moyangnya.

Beliau seorang ulama besar Mazhab Hanafi dan ahli dalam berbagai cabang ilmu seperti fiqh dan hadis. Beliau merupakan guru dari beberapa ulama besar seperti Syaikh Abdul Fatah Abu Ghuddah dam Shiddiq al-Ghumary.

“Ia adalah seorang allamah (sangat alim)”, “Beliau fanatik, tapi fanatiknya berdasarkan ilmu!”, “Dalam kata-katanya terdapat cahaya!” Itulah kata-kata yang masih terngiang-ngiang di telinga mengenai Syeikh Muhammad Zahid Al Kaustari, yang keluar dari lisan murid Musnid Al Ashr, Syeikh Yasin Al Fadani ini.

Syekh Muhammad Zahid Kautsari lahir dari keluarga ulama dan tokoh masyarakat, ayahnya Syekh Muhammad Hasan Kautsari termasuk ulama dan tokoh masyarakat Turki. Namun setelah berkuasanya rezim Kemal banyak dari kalangan ulama Turki yang memilih hijrah ke wilayah lain seperti ke Mesir, di antaranya adalah Syekh Muhammad Zahid Kautsari yang sedang dibahas.

Tukang Ojek

Valorar este eBook

Danos tu opinión.

Información sobre cómo leer

Smartphones y tablets
Instala la aplicación Google Play Libros para Android y iPad/iPhone. Se sincroniza automáticamente con tu cuenta y te permite leer contenido online o sin conexión estés donde estés.
Ordenadores portátiles y de escritorio
Puedes usar el navegador web del ordenador para escuchar audiolibros que hayas comprado en Google Play.
eReaders y otros dispositivos
Para leer en dispositivos de tinta electrónica, como los lectores de libros electrónicos de Kobo, es necesario descargar un archivo y transferirlo al dispositivo. Sigue las instrucciones detalladas del Centro de Ayuda para transferir archivos a lectores de libros electrónicos compatibles.