The Times juga tidak bisa dibilang sebagai koran biasa jika ukuran yang digunakan adalah capaian prestasi jurnalistik para wartawannya. Tidak tanggung-tanggung, 90 penghargaan Pulitzer (penghargaan untuk karya jurnalistik terbaik di AS) berhasil disabet oleh wartawan The Times sejak 1918 hingga 2004. Rentangnya mulai dari kategori liputan politik dalam negeri, liputan investigasi, liputan internasional, pemberitaan soal sains, hingga editorial. Salah satu penghargaan Pulitzer yang kemudian melambungkan nama The Times adalah laporan mengenai Pentagon Papers, yang dimenangi pada 1972 untuk kategori penghargaan khusus dan contoh istimewa dalam pelayanan publik.
Pentagon Papers adalah sebuah dokumen berisi sejarah keterlibatan AS di Vietnam yang disiapkan oleh Robert S. McNamara, Menteri Pertahanan AS. Adalah Neil Seehan, wartawan The Times yang pernah bertugas di Vietnam, yang mendapat dokumen itu pada awal April 1971 dari Daniel Ellsberg, kenalannya yang pernah bekerja sebagai perwakilan Departemen Pertahanan AS di Vietnam. Elssberg adalah salah satu dari puluhan penulis Pentagon Papers. Semula Ellsberg mendukung kebijakan AS dalam intervensi ke Vietnam, namun pandangannya sedikit demi sedikit berubah setelah ia mendapati kenyataan bahwa pemerintah AS mendukung pemerintahan yang korup di Vietnam, sementara ribuan tentara AS mati dan puluhan ribu jiwa warga Vietnam menjadi korban perang.
Pada 13 Juni 1971 laporan itu dipublikasikan. Pemerintah AS sontak kebakaran jenggot dan selang dua hari setelah publikasi itu Jaksa Agung Presiden Nixon, John Mitchell meminta The Times untuk menghentikan laporan itu dengan alasan "akan menyebabkan kerugian yang tak dapat diperbaiki bagi kepentingan keamanan Amerika". Namun, The Times bergeming. Pemerintah AS kemudian meminta pengadilan distrik New York untuk menghentikan publikasi itu. Lagi-lagi usaha mereka gagal. Hakim memutuskan The Times berhak meneruskan serial pemuatan laporan itu. Pemerintah tak puas dengan keputusan hakim dan naik banding. Di tingkat banding, Mahkamah Agung dalam putusan bandingnya memenangkan The Times dan Washington Post yang juga mempublikasikan laporan itu, dengan skor 6-3.
***
The Times terbit untuk pertama kali pada 1851. Semula koran ini dimiliki oleh R. Miller, namun tidak terlalu sukses. Belakangan, seorang yang diketahui bernama Adolph Ochs mendengar kabar bahwa The Times hendak dijual, tapi Ochs tidak punya uang. Bukan Ochs namanya kalau ia menyerah. Ochs kemudian mendatangi sejumlah investor, meyakinkan mereka, dan akhirnya berhasil. Sejak 1896 Ochs mengambil alih The Times.
Lahir pada 1858 di Cincinati, Ochs adalah sulung dari enam bersaudara. Ayahnya, Julius Ochs, seorang Jerman keturunan Yahudi yang lahir di Bavaria kemudian beremigrasi ke AS pada 1845. Sejak kecil Adolph sudah tertarik pada dunia menulis. Liputan pertamanya menyoroti peristiwa kematian Presiden Andrew Johnson pada 1875 ketika usianya belum genap 20 tahun. Hasil liputannya itu dimuat di koran Lousiville Courier-Journal. Tulisannya banyak disunting oleh editornya. Namun Ochs tidak putus asa. Ia terus mengasah kemampuan menulisnya sembari menajamkan naluri bisnisnya.
Pada 1878 ia mendirikan Chattanooga Daily, yang kemudian berubah menjadi Chattanooga Times, dan mempekerjakan anggota keluarganya di sana--hal yang sama ia lakukan saat memimpin The Times kelak. Ayahnya diminta untuk menjadi pemegang tata buku, sementara adiknya George sebagai reporter.
Sejak mengambil alih The Times pada 1896, Ochs menyajikan banyak berita ekonomi, lalu mengembangkan berita-berita hukum. Kalangan penasihat hukum mulai terpikat dengan koran ini. Pada edisi minggu, The Times pun banyak memuat berita dari dunia pemerintahan, dan jarang menampilkan hal-hal yang berbau hiburan. Ochs memang agak anti dengan hal-hal yang berbau populer; ia tidak ingin mengikuti jejak sejumlah koran kuning yang menampilkan berbagai cerita sensasional, komik, dan gambar-gambar yang dirasanya tidak perlu.
Itu cara Ochs mengemas The Times dari sisi pemberitaan. Sedangkan untuk mendongkrak penjualan, Ochs pernah menjual The Times hanya seharga 1 sen. Oplah The Times pun terus merangkak naik. Ketika membeli The Times pada 1896 oplahnya cuma 9.000 eksemplar. Selang tiga tahun telah mencapai 75 ribu eksemplar, dan pada dekade 1980-an mencapai 900 ribu eksemplar.
Pada 1920-an, Ochs secara perlahan memberikan peran yang lebih besar kepada menantunya, Arthur Hays Sulzberger, kendati ia sendiri memiliki seorang putri bernama Iphigene Berta Ochs. Sepeninggal Ochs pada 1935, Arthur Hays memimpin The Times. Jika Ochs memompa kerja wartawan The Times untuk "menulis berita tanpa takut atau memihak", Arthur meneguhkan kerja itu dengan mengatakan, "Jurnalis itu ibarat orang yang menyalakan terang untuk hadirnya bintang-bintang." (hlm. 50)
Namun, The Times tak sepenuhnya lepas dari masalah. April 2003, The Times diguncang skandal pembuatan berita palsu oleh Jayson Blair, wartawan muda The Times. Kasus Blair terungkap ketika ia menulis kisah Jessica D. Lynch, tentara perempuan AS yang tertawan tentara Irak saat AS menyerbu negara itu awal 2003.
Ketika laporan Blair itu dimuat April 2003, sebuah surat kabar di Texas mencurigai laporan itu merupakan hasil penjiplakan dari laporan wartawan mereka. Menanggapi hal itu, The Times kemudian membentuk tim investigasi internal untuk menyelidiki kasus ini. Tim akhirnya menemukan fakta bahwa Blair sama sekali tidak pernah datang ke kota tempat keluarga Lynch tinggal. Ia juga tidak tercatat pernah menginap di hotel kota itu ataupun menghubungi keluarga Lynch sekalipun.
Kesimpulannya, laporan Blair memang hasil jiplakan dari berita di koran lain. The Times pun gempar. Sejumlah editornya lemas mendengar hasil laporan intern itu. Walau malu, para editor The Times akhirnya menyatakan permintaan maaf kepada para pembacanya. Dan sejak 1 Mei 2003, Jayson Blair mengundurkan diri dari The Times. (hlm. 1-2)
Kasus Blair ini telah mencoreng reputasi The Times sebagai koran terbaik di dunia 1999 versi majalah Editors & Publishers. Agar kasus Blair ini tidak terulang kembali, The Times merasa perlu merevisi kode etik mereka. Ini merupakan koreksi atas kesalahan yang pernah dibuatnya. Soal integritas, otoritas, dan reputasi benar-benar ditegaskan kembali. Hal ini disebutkan dalam alinea pertama hasil revisi kedua Kode Etik Mei 2004:
"Reporters, editors, photographers, and all members of the news staff of the New York Times share a common and essential interest in protecting the integrity of the newspaper..Our greatest strength is the authority and reputation of the Times."
***
Buku ini ditulis oleh Haryanto setelah ia melihat buku setebal hampir 1.000 halaman yang berjudul The Trust: The Private and Powerful Family Behind The New York Times karangan Susan E. Thift & Alex S. Jones, berisi sejarah keluarga pemilik The Times. Dari seorang kawannya, ia mendapatkan buku The Times of My Life and My Life with The Times, yang memuat biografi Max Frankel, salah seorang pemimpin redaksi The Times.
Setelah itu secara kebetulan ia memperoleh buku dari mantan pembimbing skripsinya di Jurusan Komunikasi UI dulu, berjudul The Kingdom and The Power. Buku yang terbit pada 1981 ditulis oleh Gay Talese, mantan wartawan The Times. Dari ketiga sumber awal buku itulah, naskah buku ini mulai ditulis dalam ciri khas penulisnya: The Times tidak hanya dituturkan seputar sejarahnya, jatuh-bangunnya, prestasi berikut noktahnya, tapi juga The Times ditarik hingga pada medium reflektif bagi pembaca di tanah air, membangun kredibilitas media dan merawat kepercayaan publik bukanlah perkara mudah. Butuh pengorbanan dan dedikasi tak kunjung lelah.
Ignatius Haryanto, lahir di Bandung, 23 Maret 1969 (email: [email protected])
RIWAYAT PENDIDIKAN:
1. Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial from Ilmu Political, Universitas Indonesia (lulus tahun 1994)
2. Extention Course Filsafat Sosial-Budaya pada Sekolah Tinggi Filsafat Driyaarkara, Jakarta (tahun 1991-1997)
3. Jurusan Studi Asia Tenggara (Southeast Asian Studies Program), National University of Singapore (November 1998 - 2000)
4. Summer School "Intellectual Property in Comparative Perspective: The Cultural Implications of Technological Change ", Budapest, Central European University (CEU), 2-12 Agustus 2004
5. Paska Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyaarkara (sejak) Tahun 2004)
RIWAYAT PEKERJAAN
1. Reporter Majalah Forum Keadilan (September 1994 - September 1997)
2. Staf Redaksi Majalah D & R (Oktober 1997 - Maret 1998)
3. Wartawan Majalah Tempo (2001 - 2003)
4. Wakil Directed by Exekutif Lembaga Studi from Pers Pembangunan (LSPP) (2000 - sekarang)
BUKU
1. Pembredelan Pers di Indonesia: Kasus Koran Indonesia Raya, Jakarta: Lembaga Studi Persia from Pembangunan, 1996 (Cetak ulang edisi ke-2, Yogyakarta, LKIS, 2006).
2. Laporan Tahunan Pers Indonesia 1996: Persian Terus Di-Pres, Jakarta: Pembangunan & Aliansi from Lembaga Studi Pers Jurnalis Independen, 1996
3. Tragedi Situbondo, Jakarta: Grasindo, 1998
4. Kejahatan Negara: Telaah tentang Hole Keamanan Negara, Jakarta: ELSAM (Lembaga Studi Advokasi Masyarakat), 1999
5. Penghisapan Rezim RIGHTS: Tinjauan Economic Political Rights Atas Kekayaan Intelektual (Jakarta: Debt Watch, 2002)
6. Annual Report AJI 1995: Pers Terus Di-Pres
7. Annual Report AJI 1997/8: Pers Diterpa Krisis, AJI dan LSPP, 1998
8. Annual Report AJI 2000-2001: Consensus Modal, Serbuan Massa, dll ...
9. Pax Benedanto, Ignatius Haryanto, & amp; E. Pudjiachirusanto, Pemilihan Umum 1999: Democracy atau rebutan Course, Jakarta: LSPP & Asia Foundation, 1999.
10.Pax Benedanto (ed.) Ignatius Haryanto, Widiarsi Agustina, Rusdi Marpaung, from Kivan Internasional Hak Sipil Politics: Panduan Bagi Jurnalis, Jakarta: LSPP, 2000
11. Ignatius Haryanto from Pax Benedanto, Terbuka Terhadap Sesam Umat Beragama: Aktualisasi Ajaran Sosial Gereja Tentang Agama yang Inklusif, Yogyakarta: Penerbit Kanisius From Komisi Kerawam KWI, 2004
12. Aku Selebriti maka Aku Penting, Yogyakarta: Bentang, 2006.