Si bayangan putih angkat tangannya mengusap wajah. Dia adalah seorang perempuan berusia sangat lanjut. Seluruh wajahnya telah mengeriput dan hanya dibungkus lapisan daging tipis. Hingga yang tampak menonjol adalah tengkorak wajahnya. Sepasang matanya besar. Dan mungkin demikian tuanya, rambut nenek ini hanya tinggal merupakan bulu-bulu halus berwarna putih. Hingga jika tidak dilihat secara seksama, kepala nenek ini seperti gundul plontos. Dia mengenakan pakaian putih panjang.
“Aku belum bisa memutuskan langkah apa yang kulakukan sekarang. Maladewa ternyata diberi takdir baik. Dia bisa selamat keluar dari Kampung Setan. Hanya saja aku merasa menyesal…. Mengapa Kembang Darah Setan kudengar raib dari tangannya!” Si nenek membatin. Dia memandang riakan air sungai seraya menghela napas dalam. “Siapa sebenarnya yang memegang Kembang Darah Setan saat ini? Kabar tentang Pendekar 131 yang katanya memegang Kembang Darah Setan nyatanya hanya omong kosong! Aku telah bertemu dengan pemuda itu. Dari pancaran tubuhnya, aku sudah bisa memastikan kalau dia tidak memiliki Kembang Darah Setan! Hem…. Sayangnya aku belum bisa bertemu dengan Maladewa! Cucuku malang…. Seandainya kau tidak keburu nafsu dan menunggu sampai upacara penyerahan, tentunya peristiwa ini tidak akan terjadi! Dan nama Kampung Setan sudah pasti akan menjulang seperti pada beberapa puluh tahun silam….”
Si nenek yang tidak lain adalah Nyai Suri Agung, nenek Maladewa yang sekarang telah bergelar Setan Liang Makam arahkan kepala menghadap lembah gersang di seberang barat.
“Usiaku sudah begini lanjut. Tak mungkin aku melakukan pekerjaan ini sendiri! Dan ini memang bukan menjadi hakku! Ini hak Maladewa untuk melakukannya! Tapi tanpa Kembang Darah Setan apa bisa?!” Nyai Suri Agung kembali menghela napas panjang. Paras wajahnya jelas membayangkan perasaan menyesal dan kecewa.
“Ah…. Apa hendak dikata. Takdir memang sudah mengharuskan demikian! Tanpa atau dengan Kembang Darah Setan di tangannya, aku harus menyampaikan amanat ini pada Maladewa! Aku akan merasa berdosa kalau tidak mengatakannya! Terserah setelah itu apa yang hendak dilakukan Maladewa! Yang penting aku sudah menyampaikan amanat nenek moyang…. Secepat mungkin aku harus menemukan Maladewa!”
Membatin sampai di situ, akhirnya Nyai Suri Agung berniat meninggalkan tepian sungai. Namun belum sampai nenek ini lakukan apa yang telah diputuskan, telinganya yang tajam bisa mengungkap kelebatan seseorang menuju arah sungai di mana saat itu si nenek berada.
Tanpa gerakkan kepala berpaling pada arah datangnya orang, Nyai Suri Agung angkat kedua tangannya dirangkapkan di depan dada. Saat yang sama sepasang matanya dipejamkan.
Nyatanya Nyai Suri Agung tidak menunggu lama. Baru saja sepasang matanya memejam, dari arah timur tampak satu bayangan berlari cepat. Hanya beberapa saat bayangan itu telah berada sejarak lima belas langkah di belakang Nyai Suri Agung dan tegak dengan mata memandang tak berkesip.
“Aku sepertinya mengenali pakaian yang dikenakan manusia itu! Apakah memang dia?!” Orang yang baru muncul di belakang sana membatin.
Dan baru saja orang di belakang membatin, Nyai Suri Agung telah perdengarkan suara. “Katakan siapa kau dan apa gelarmu jika punya!” Suara si nenek terdengar berat dan parau. Malah suara itu seperti menggema ke seantero tempat itu!
Orang di belakang sana terkesiap dan langsung surutkan langkah satu tindak. Bukan karena teguran orang, melainkan suara itu mengingatkannya pada seseorang yang sangat dikenal!
“Dari suaranya aku hampir yakin memang dia! Apa dia sengaja menungguku di sini?! Dari mana dia tahu aku akan datang ke tempat ini?! Hem…. Tapi ini satu rezeki besar bagiku….”
“Kau dengar perintahku, Manusia! Lekas jawab!” Nyai Suri Agung kembali perdengarkan teguran.
“Aku Setan Liang Makam! Dan siapa aku tentu kau telah mengenalnya!” jawab orang di belakang sana yang ternyata adalah seorang laki-laki berambut awut-awutan dengan sekujur tubuh hanya merupakan kerangka tanpa dilapis daging sama sekali dan tidak lain memang Setan Liang Makam adanya.
Suara jawaban orang belum selesai, Nyai Suri Agung telah putar diri. Namun ia belum buka kelopak matanya meski telah beberapa saat menghadap orang. Dia sengaja ingin memberitahukan pada orang siapa dirinya!
Walau sudah dapat menduga, namun begitu Nyai Suri Agung putar diri menghadap, tak urung Juga Setan Liang Makam masih terkesima.
Perlahan-lahan Nyai Suri Agung buka kelopak matanya. Bola mata itu untuk beberapa lama memperhatikan orang dari atas hingga bawah.
“Aku tidak mengenalmu! Tapi aku memang pernah dengar suaramu! Katakan siapa kau sesungguhnya!” kata Nyai Suri Agung.
Setan Liang Makam bukannya menjawab pertanyaan orang, melainkan melangkah perlahan-lahan mendekati Nyai Suri Agung.
“Jangan berani mendekat sebelum kau katakan siapa kau sebenarnya!”
Setan Liang Makam tidak pedulikan ancaman si nenek. Dia teruskan langkah dan berhenti empat langkah di hadapan Nyai Suri Agung. Setan Liang Makam sengaja tegak dengan kancingkan mulut dan hanya memandang pada si nenek.
“Kalau kau tak mengerti bahasa ucapan, aku akan mengajarimu bahasa tangan!” kata Nyai Suri Agung sudah mulai geram melihat sikap orang.
“Kau lupa padaku?!” tanya Setan Liang Makam.
“Kau telah dengar! Aku memang mengenali suaramu tapi aku tidak kenal siapa dirimu!”
“Kau pernah merasa punya seorang cucu?!” kembali Setan Liang Makam bertanya.
“Hem…. Suaranya jelas dia. Tapi rupanya…. Dan ucapannya tadi…. Apakah yang di hadapanku ini Maladewa?!” Nyai Suri Agung menduga-duga.
“Aku memang punya cucu, tapi namanya bukan Setan Liang Makam!”
Setan Liang Makam kembali melangkah. Dan tiba-tiba dia jatuhkan diri berlutut di hadapan Nyai Suri Agung.
“Eyang Guru…. Aku adalah Maladewa…. Murid dan cucumu….”
Nyai Suri Agung laksana tersedak. Dia arahkan pandang matanya ke bawah memperhatikan pada sosok Setan Liang Makam yang duduk berlutut. Kepalanya menggeleng perlahan. Dan seolah tidak sadar mulutnya membuka.
“Apakah benar kau cucuku si Maladewa…?”
“Aku minta maaf atas tindakanku padamu pada puluhan tahun silam…. Kini aku baru sadar akan kekeliruan ku….” Suara Setan Liang Makam terdengar serak. Nyai Suri Agung bungkukkan sedikit tubuhnya lalu menarik pundak Setan Liang Makam hingga laki-laki ini berdiri.
“Kau tak perlu minta maaf. Aku maklum akan apa yang kau lakukan! Kau saat itu masih muda dan mendengar hasutan dari kanan kiri sebelum kau siap menerimanya! Hanya sebenarnya aku sangat menyesal sekali. Mengapa hal itu harus terjadi…. Padahal kau telah dipersiapkan sejak lama untuk menjunjung kembali harkat kebesaran keluarga! Tapi sudahlah…. Semuanya sudah terjadi….”
Nyai Suri Agung arahkan pandang matanya pada riakan air di depan sana. “Aku tidak menduga kalau kita dipertemukan di sini! Lebih-lebih aku tidak menduga kalau kau sudah sangat berubah….”
“Ini karena keadaanku yang terkubur di makam batu itu!”
“Maladewa…. Ada sesuatu yang harus kusampaikan padamu! Sebenarnya hal ini harus kukatakan padamu pada beberapa tahun silam. Namun karena keadaan tak memungkinkan, terpaksa baru saat ini kukatakan! Tapi sebelumnya aku ingin tanya padamu!”
Maladewa alias Setan Liang Makam sedikit kaget dan menduga-duga. Sementara Nyai Suri Agung berpaling dan angkat suara lagi.
“Di mana Kembang Darah Setan?!”
Setan Liang Makam tampak gelagapan. Nyai Suri Agung memperhatikan dengan mata menyipit.
“Benda itu diambil seorang pemuda….”
“Aku ingin mendengar bagaimana sampai Kembang Darah Setan bisa diambil orang!” kata Nyai Suri Agung dengan suara agak tinggi. Nadanya jelas mengandung kemarahan.
“Sebagaimana yang kau ucapkan, setelah aku masuk ke dalam makam batu, ternyata semuanya benar! Begitu aku berada di dalam makam batu selama hampir tiga puluh enam tahun, pada satu saat, tiba-tiba saja ada seseorang yang muncul dan mau membebaskan aku! Aku bertanya padanya. Ternyata dia tahu rahasia bagaimana caranya membongkar makam batu! Hanya saja, sebagai imbalannya, dia meminta Kembang Darah Setan! Karena aku masih ingin hidup, terpaksa aku menyetujui permintaannya!” Setan Liang Makam memberi keterangan tanpa berani memandang ke arah Nyai Suri Agung. (Lebih jelasnya tentang bagaimana Maladewa bisa keluar dari makam batu, silakan baca serial Joko Sableng dalam episode : “Kembang Darah Setan”).
“Siapa pemuda yang mengambil Kembang Darah Setan itu?!”
“Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng!”
Nyai Suri Agung mendengus. “Kau jangan berdusta padaku, Maladewa!”
“Nek! Aku memang bukan cucu yang baik! Tapi dalam hal ini aku berkata jujur!”
“Kau masih dusta, Maladewa!”
“Nek! Dalam keadaan seperti sekarang ini tak ada untungnya berkata dusta padamu! Pemuda itu adalah Pendekar 131 Joko Sableng!”
Nyai Suri Agung gelengkan kepala. “Aku telah bertemu dengan Pendekar 131 Joko Sableng! Dari pancaran tubuhnya aku sudah bisa mengatakan dengan pasti jika pemuda itu tidak memegang Kembang Darah Setan! Maladewa! Katakan dengan jujur, siapa yang mengambil Kembang Darah Setan!”
“Nek! Terserah kau mau percaya atau tidak! Bangsat itu adalah Pendekar 131!”
Nyai Suri Agung menghela napas dalam. “Dalam rimba persilatan memang tersiar kabar jika Kembang Darah Setan berada di tangan Pendekar 131 Joko Sableng. Maladewa pun seakan yakin kalau pemuda itu yang mengambilnya! Tapi aku tetap pada keyakinanku kalau pemuda itu tidak membawa Kembang Darah Setan! Hem…. Bagaimana hal ini bisa terjadi?!” Nyai Suri Agung berkutat dengan batinnya sendiri.
“Cucuku, Maladewa…. Kau pernah berjumpa dengan pemuda itu?!”
“Semenjak keluar dari makam batu, aku pernah sekali berjumpa dengannya! Sayang saat itu dia bisa lolos! Tapi aku telah bersumpah untuk mencarinya! Dan kini aku tahu di mana dia berada!”
“Coba katakan di mana dia berada!” kata Nyai Suri Agung.
Setan Liang Makam angkat tangan kanannya lalu ditunjukkan pada bukit di seberang sungai.
Nyai Suri Agung tampak sedikit heran. “Dari mana kau dapatkan keterangan jika Pendekar 131 berada di bukit itu?!”
“Dari seorang pemuda yang sempat kutemui tidak jauh dari tempat ini!” Setan Liang Makam lalu menceritakan pertemuannya dengan Saraswati dan Putri Kayangan.
“Kau terlalu percaya pada orang yang belum kau kenal, Cucuku! Kau lupa. Dunia di mana kita sekarang berada adalah dunia persilatan. Dunia yang seharusnya tidak boleh begitu saja percaya pada orang! Karena di dalamnya kebohongan dan fitnah merupakan hal yang lumrah! Seharusnya kau belajar dari apa yang pernah kau alami! Kau pernah dikhianati oleh orang yang kau percaya hingga kau sendiri akhirnya terjerumus masuk ke dalam makam batu! Kau tahu, Cucuku…. Tanpa ke bukit itu, aku sudah bisa memastikan kalau di sana tidak ada seorang pun!”
“Hem…. Aku mengenal betul siapa dia! Ucapannya tidak pernah melesat!” kata Setan Liang Makam dalam hati. Mendadak saja paras wajah Setan Liang Makam berubah. Sepasang matanya mendelik angker. Tulang pelipisnya bergerak-gerak.
“Jahanam itu telah berkata dusta padaku! Dia tidak tahu! Dia tidak tahu dengan siapa dia berani main-main! Lebarnya dunia akan kubuat sempit bagi langkahnya! Dalamnya laut akan kubuat sejengkal bagi tempat persembunyiannya!” Setan Liang Makam hentakkan kaki. Tanah di tempat itu kontan bergetar keras dan tanahnya muncrat!
Nyai Suri Agung menggeleng. “Percuma kau menyumpah-nyumpah, Cucuku! Semuanya sudah telanjur! Yang penting, mulai saat ini kau tidak boleh percaya pada siapa pun! Bahkan pada keyakinanmu sendiri jika kau belum melihat dengan mata kepalamu!”
Setan Liang Makam coba menindih gejolak hawa kemarahan. Lalu berkata dengan dada masih bergerak turun naik pertanda belum sepenuhnya dia dapat kuasai diri.
“Nek! Kau tadi mengatakan hendak menyampaikan sesuatu…!”
“Cucuku…. Sebenarnya hal ini kusampaikan ketika Kembang Darah Setan berada di tanganmu! Namun mengingat usiaku sudah terlalu tua, dan jika menunggu Kembang Darah Setan aku khawatir terlambat, maka meski dengan tanpa Kembang Darah Setan di tanganmu, hal ini harus kusampaikan….” Nyai Suri Agung sesaat hentikan ucapannya Setelah menarik napas dia teruskan ucapan.
“Kau kembalilah ke Kampung Setan. Hancurkan altar batu putih di dekat makam batu di mana kau pernah terkubur!”
Setan Liang Makam mendengarkan dengan seksama. Begitu Nyai Suri Agung hentikan ucapan, dia angkat bicara.
“Nek…. Bukankah altar itu hanya sebagai pembuka makam batu?!”
“Itu jika diinjak! Tapi kalau dihancurkan, kau akan menemukan hal lain! Tapi ada satu hal yang harus kau ingat, Maladewa! Lakukan apa yang kukatakan jika kau telah mendapatkan kembali Kembang Darah Setan! Jika tidak, kau hanya akan mengalami kecewa! Karena kau tak akan mendapatkan apa-apa!”
“Nek…. Sebenarnya ada apa di sana?!”
Nyai Suri Agung gelengkan kepala. “Aku tidak bisa mengatakannya! Kau sendiri kelak akan mengetahuinya! Hanya aku bisa memastikan, jika kau telah berhasil maka kejayaan Kampung Setan akan kembali! Dan kaulah satu-satunya tumpuan dalam urusan ini!”
Nyai Suri Agung putar tubuh. “Cucuku…. Sekarang kau harus cepat mendapatkan kembali Kembang Darah Setan! Dan kau harus ingat. Jangan termakan dengan berita yang kini tersebar dalam rimba persilatan! Setiap orang harus kau curigai! Sekarang aku harus pergi….”
“Nek! Tunggu!” tahan Setan Liang Makam, membuat Nyai Suri Agung urungkan niat untuk tinggalkan pinggiran sungai.
“Boleh aku minta sesuatu padamu?!”
“Aku sudah tidak punya sesuatu yang pantas kuberikan padamu, Cucuku! Dan keterangan yang baru saja kau dengar sudah lebih berharga dari segalanya!”
“Kau masih memiliki ilmu ‘Pantulan Tabir’…!”
“Kau ingin aku mampus sekarang?!” tanya Nyai Suri Agung.
“Nek…. Apa maksudmu?!”
“Ilmu itu hanya bisa diwariskan pada satu orang! Begitu diwariskan pada orang kedua, maka yang mewariskan akan menemui ajal!”
Setan Liang Makam memaki dalam hati. Lalu berujar pelan dengan nada marah.
“Kalau begitu, berarti nenek telah berbuat ceroboh! Nenek telah mewariskan ilmu langka itu pada Galaga yang sebenarnya tidak ada hubungan apa-apa dengan kita!”
Nyai Suri Agung sedikit belalakkan mata. Masih tanpa memandang pada Setan Liang Makam, si nenek berkata.
“Kau jangan menyalahkan aku, Maladewa! Galaga memang tidak punya hubungan apa-apa dengan kita! Namun sebenarnya dia kupersiapkan untuk membantumu jika saatnya datang! Aku mewariskan ilmu ‘Pantulan Tabir’ padanya karena aku yakin kau akan mendapatkan yang lebih daripada yang kuberikan pada Galaga! Sayangnya…. Semua rencana itu harus buyar akibat nafsumu yang tidak mau bersabar! Seandainya kau saat ini tidak tergesa-gesa, tentu saat ini kita tidak begini!”
“Nek…. Apa Galaga juga telah tahu apa yang baru kau katakan tadi?!”
“Cucuku…! Hubungan ku dengan Galaga hanya terbatas sebagai murid dan guru! Sementara kau adalah cucuku! Aku dapat memisahkan mana yang harus kukatakan pada murid dan mana yang harus kukatakan pada cucuku sendiri!”
“Berarti dia tidak tahu tentang rahasia batu altar itu! Tapi bukan berarti aku akan membiarkannya hidup!” ujar Setan Liang Makam.
“Maladewa…. Kau tahu, jika begini perjalanan yang harus kita tempuh, sebenarnya aku merasa menyesal mewariskan ilmu itu pada Galaga. Tapi sudahlah…. Semuanya sudah terjadi! Aku menyerahkan semuanya padamu! Kalau kau anggap Galaga sebagai perintang, kau tahu apa yang harus kau lakukan, begitu pula sebaliknya!”
“Nek…. Apa tidak sebaiknya kita bersama-sama mencari Kembang Darah Setan?!”
“Kembang Darah Setan telah kuserahkan padamu! Kau yang harus menjaga sekaligus mendapatkannya kembali jika benda itu lolos dari tanganmu! Aku semata-mata hanya sebagai perantara dan penunjuk!”
Dada Setan Liang Makam kembali bergerak turun naik. Nyai Suri Agung rupanya bisa menangkap apa yang melanda dada cucunya.
“Maladewa…. Aku tahu, kau mungkin merasa tidak suka dengan perkataan ku tadi! Tapi kau harus maklum, itu adalah yang harus kukatakan! Dan kau jangan menganggap ucapanku tadi sebagai isyarat aku cuci tangan! Tidak, Cucuku…. Aku akan tetap membantumu sekuat apa yang ku bisa! Dan kau harus paham. Demi keluarga, apa pun akan kulakukan! Meski harus membunuh murid sendiri!”
Nyai Suri Agung tengadahkan kepala. “Lekas dapatkan kembali Kembang Darah Setan! Kita bangun kembali puing kehancuran Kampung Setan agar bisa tegak jaya sebagaimana puluhan tahun silam!”
Masih dengan mendongak, Nyai Suri Agung perlahan-lahan melangkah. Setan Liang Makam melompat dan tegak di samping neneknya.
“Nek! Sekarang hendak ke mana kau pergi?!”
“Kau punya urusan yang harus segera kau lakukan! Aku pun punya urusan yang juga harus kulaksanakan!”
Habis berkata begitu, Nyai Suri Agung luruskan kepala. Saat bersamaan nenek ini gerakkan kaki. Sosoknya melesat dan kejap lain telah berada di depan sana sebelum akhirnya lenyap dari pandangan Setan Liang Makam.
Setan Liang Makam putar kepala ke arah bukit di seberang sungai. Dadanya tiba-tiba bergetar keras. “Aku tidak akan lagi percaya pada mulut orang! Semuanya penipu busuk! Penipu busuk!”
Saking marahnya, Setan Liang Makam hantamkan kedua tangannya ke aliran sungai di hadapannya.
Byurr! Byurr!
Air sungai muncrat sampai dua tombak ke udara. Lamping tanah pinggiran sungai longsor terkena gelombang riak air tatkala muncratan air itu menghempas kembali. Dan begitu aliran sungai telah mengalir tenang kembali, sosok Setan Liang Makam sudah tidak kelihatan lagi.