Pariwisata kota pusaka dapat dipahami sebagai sebuah upaya pengelolaan dan pemanfaatan kota pusaka dengan cara mengemasnya menjadi sebuah destinasi wisata. Pengemasan ini menimbulkan konsekuensi adanya penyiapan aspek-aspek terkait dari hulu sampai ke hilir agar sesuai dengan standar pariwisata. Dengan demikian, pengembangan pariwisata kota pusaka tidak sekadar mengemas dan mempromosikan tetapi mulai dari perencanaan, pelaksanaan program, serta evaluasi setelah pembangunan dilakukan harus dilaksanakan secara cermat dan sistematis. Pariwisata kota pusaka sejatinya mempunyai keuntungan ganda, baik dari sisi pelestarian kota pusaka maupun sisi pembangunan kepariwisataan. Kota pusaka lengkap dengan aset-aset pusaka yang dimiliki merupakan sebuah kesatuan produk atau daya tarik yang akan dinikmati wisatawan. Wisatawan tersebut cenderung menginginkan hal yang otentik dan kental dengan nuansa pusaka. Hal ini dapat diperoleh dengan cara mempertahankan aset-aset pusaka tersebut atau mendekati aslinya dan menjaga lingkungan di sekitarnya agar mendukung keseluruhan kesan yang dibangun. Dari sisi pembangunan kepariwisataan, konteks kota pusaka merupakan sebuah brand yang dapat dijadikan destinasi tersebut berbeda dengan destinasi lain. Brand inilah yang akan memberi roh terhadap pembangunan kepariwisataan di destinasi tersebut dan jika dipenuhi dan dilaksanakan secara konsisten dapat membuat destinasi tersebut mempunyai daya saing yang tinggi di antara destinasidestinasi yang sejenis.
Pengembangan pariwisata kota pusaka tidak lepas dari berbagai hambatan dan tantangan. Sebagai sebuah bidang yang multisektor–multipemangku kepentingan, pengembangan pariwisata kota pusaka dapat menjadi sederhana atau sangat rumit. Hal ini menjadi sangat rumit jika koordinasi antar-pemangku kepentingan lemah sehingga aksi yang dilakukan masing-masing pihak tidak terkoordinasi dan terpantau dengan baik. Risiko terburuk adalah sebuah keadaan di mana satu dengan yang lain melakukan tindakan kontraproduktif. Hambatan kedua adalah dukungan finansial terhadap pengelolaan dan pelestarian terhadap aset pusaka. Dukungan finansial ini lazim menjadi masalah dalam pembangunan. Salah satu upaya untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut adalah dengan pelibatan masyarakat atau komunitas lokal dalam pengelolaan dan pelestarian aset pusaka di kawasan pusaka. Dengan melibatkan masyarakat dan komunitas lokal, diharapkan kesadaran akan pentingnya melestarikan dan mengelola kekayaan pusaka akan tumbuh dari bawah dan mengakar. Kesadaran yang dibangun akan lebih kuat jika bisa mendapatkan keuntungan finansial dari kegiatan pengelolaan dan pelestarian yang dilakukan di kawasan masingmasing. Untuk mengatasi masalah finansial, kesadaran kolektif terhadap pentingnya pelestarian kekayaan pusaka bisa menjadi awal munculnya alternatif solusi. Berbagai pihak, selain pemerintah, dapat ‘digandeng’ untuk bersama-sama membiayai berbagai upaya pengelolaan dan pelestarian kota pusaka.
Ada beberapa tantangan dalam pengembangan pariwisata kota pusaka dilihat dari sisi positif yang menjadi sebuah peluang. Pertama, pengelolaan kunjungan atau visitor management yang mengatur waktu kunjungan dan sirkulasi dari wisatawan sehingga tidak ada penumpukan yang berlebihan pada satu waktu yang terjadi secara terus-menerus sehingga melebihi daya dukung lingkungan daya tarik wisata. Pengelolaan kunjungan menjadi alternatif cara untuk memberikan pengalaman berwisata yang optimal. Kedua, interpretasi terhadap daya tarik pusaka. Interpretasi dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi wisatawan dan dari sisi produknya atau daya tarik wisata pusaka itu sendiri. Kelemahan yang sering kali terjadi adalah pada interpretasi dari sisi produk. Ketiga, edukasi kepada wisatawan. Penambahan kata “pusaka” seharusnya dimaknai dengan memberikan sebuah nilai lebih terhadap aktivitas wisata yang mungkin sudah berkembang sejak lama. Nilai lebih ini seharusnya bisa dirasakan oleh semua wisatawan yang datang. Wisatawan yang datang vii ke sebuah kawasan wisata pusaka tidak hanya disambut dengan perlakuanperlakuan yang menyenangkan semata-mata, tetapi harus ditumbuhkan kesadaran bahwa ada etika maupun aturan main yang harus mereka patuhi.
[UGM Press, UGM, Gadjah Mada University Press]