Jubah Tanpa Jasad

· Serial Cerita Silat Joko Sableng - Pendekar Pedang Tumpul 131 Livre 24 · Pantera Publishing
E-book
115
Pages
Les notes et avis ne sont pas vérifiés. En savoir plus

À propos de cet e-book

DI SATU tempat agak jauh dari Kampung Setan, Kiai Tung-Tung hentikan langkahnya ketika matanya dapat menangkap satu bayangan berlari menuju ke arahnya. Begitu cepatnya sosok bayangan itu hingga belum sampai Kiai Tung-Tung melompat menyelinap si bayangan tadi tahu-tahu sudah tegak berjarak sepuluh langkah di hadapannya.


Untuk beberapa saat sepasang mata orang di depan sana pandangi Kiai Tung-Tung dari atas hingga bawah. Namun karena Kiai Tung-Tung masih mengenakan caping lebar yang dimasukkan dalam-dalam pada kepalanya, si orang rupanya merasa kesulitan untuk mengenali raut wajahnya. Hingga dia segera buka mulut.


“Boleh aku tahu siapa kau adanya, Orang Tua?!”


Kiai Tung-Tung kerutkan dahi. “Aku sepertinya pernah dengar suara orang ini! Tapi mengapa wajahnya lain?! Apa memang suara mirip tapi lain orangnya?!” Kiai Tung-Tung angkat sedikit kepalanya lalu memperhatikan orang di seberang depan.


Dia adalah seorang laki-laki yang seperti halnya Kiai Tung-Tung, mengenakan caping lebar dan dimasukkan dalam-dalam pada kepalanya hingga raut wajahnya tidak mudah dikenali. Mengenakan pakaian gombrong warna hitam sebatas betis berlengan panjang. Hingga dari anggota tubuhnya yang kelihatan hanyalah telapak kedua tangannya, bagian betis ke bawah lalu sebagian dari paras wajahnya. Tangan kanannya memegang buntalan kain yang disampirkan pada pundaknya.


“Aku Kiai Tung-Tung…,” Kiai Tung-Tung alias murid Pendeta Sinting yang tengah menyamar menjawab pertanyaan orang. Lalu balik bertanya. “Kau sendiri siapa, Orang Tua?!”


Orang yang ditanya tidak segera menjawab. Sebaliknya angkat kepalanya sedikit. Lalu pandangi Kiai Tung-Tung dengan seksama. Diam-diam dalam hati dia membatin. “Suaranya tidak mungkin ku lupa! Apa benar-benar dia?! Kurang ajar betul, Sontoloyo ini! Kudengar dia telah melakukan beberapa hal yang tak terpuji setelah peristiwa di Kedung Ombo! Sontoloyo seperti ini harus diberi pelajaran dan kalau perlu dibunuh jika benar melakukan hal yang mengotori dunia persilatan! Aku memang belum yakin benar akan berita yang saat ini tersebar, namun melihat arah datangnya, mungkin dia baru dari Kampung Setan. Sementara berita yang terdengar, mengaitkan dirinya dengan perihal Kampung Setan…. Benar-benar celaka kalau apa yang tersiar sekarang benar-benar kenyataan….”


“Orang tua! Kau keberatan mengatakan siapa dirimu?!” Kiai Tung-Tung kembali perdengarkan suara ketika agak lama si orang yang ditanya tidak segera menjawab.


Tiba-tiba orang di seberang depan perdengarkan tawa ngakak. Namun laksana dirobek setan, orang ini putuskan tawanya dan mendadak buka mulut membentak.


“Aku Malaikat Jagal Manusia! Kau tidak beruntung, Manusia! Karena harus bertemu denganku!”


“Maksudmu…?!” tanya Kiai Tung-Tung dengan palingkan kepala melirik.


“Telingamu telah dengar gelarku. Malaikat Jagal Manusia! Jadi tak ada makhluk bernama anak manusia yang lewat begitu saja bila jumpa denganku! Termasuk kau sendiri!”


“Tapi…. Bukankah di antara kita tidak ada perkara apa-apa?! Lagi pula rasanya tidak…”


“Anak manusia!” Orang yang sebutkan diri sebagai Malaikat Jagal Manusia telah menukas sebelum Kiai Tung-Tung selesaikan ucapan. “Bagi Malaikat Jagal Manusia, tidak butuh perkara jika hendak menjagal manusia! Yang jelas, siapa pun anak manusia yang bertemu denganku, maka saat itulah nasibnya ditentukan!”


“Hem…. Berarti hanya suaranya saja yang mirip…. Orangnya lain!” gumam Kiai Tung-Tung dalam hati. Lalu berkata.


“Kalau setiap kali kau selalu menjagal manusia, jangan-jangan kau melakukan hal ini atas suruhan orang lain! Benar?!”


Mendengar ucapan Kiai Tung-Tung, Malaikat Jagal Manusia tertawa bergelak panjang. “Malaikat Jagal Manusia pantang mendapat perintah orang! Penjagalan ini adalah tugas sejak aku dilahirkan! Ha…. Ha…. Ha…! Masih ada yang hendak kau tanyakan sebelum nyawamu terjagal tanganku, Anak Manusia?!”


Kiai Tung-Tung anggukkan kepala. “Boleh aku tahu, apa kau dapat menduga siapa gerangan kira-kira yang dapat menjagal dirimu sekaligus menentukan akhir nasibmu?!”


Malaikat Jagal Manusia putuskan tawanya. Sepasang matanya mendelik angker. Setelah mendengus keras dia berkata.


“Aku sendiri yang menentukan nasibku!”


Kali ini ganti Kiai Tung-Tung yang balik tertawa panjang. Lalu kepalanya kembali menggeleng. “Kau salah, Malaikat Jagal Manusia! Bukan kau yang tentukan akhir nasibmu. Tapi tanganku! Ha…. Ha…. Ha…!”


Malaikat Jagal Manusia gerakkan tangan kiri tekankan pada caping lebarnya. Saat lain tiba-tiba laki-laki ini melompat ke depan. Tangan kirinya yang telah terangkat ke atas berkelebat lepaskan satu pukulan ke arah kepala Kiai Tung-Tung.


Kiai Tung-Tung tidak mau menunggu. Dia menyongsong pukulan tangan orang dengan angkat tangan kanannya. Namun bukan untuk lepaskan pukulan, melainkan dipalangkan pada kepalanya.


Bukkk!


Tangan kiri Malaikat Jagal Manusia membentur tangan Kiai Tung-Tung. Saat bersamaan mendadak tangan kanan Malaikat Jagal Manusia telah pula berkelebat. Kiai Tung-Tung tidak tinggal diam. Tangan kirinya cepat menyambut.


Bukkk!


Kembali terjadi benturan. Masing-masing orang sama tersurut satu langkah ke belakang dengan dahi sama mengernyit. Namun itu cuma sesaat. Kejap lain, Malaikat Jagal Manusia telah menyergap ke depan. Kini kedua tangannya bergerak bersamaan lepaskan pukulan.


“Ah…. Manusia ini nyatanya tidak main-main…. Apa sebenarnya kemauan orang ini?! Apa ucapannya benar kalau dia akan menjagal setiap anak manusia yang ditemuinya?!”


Sambil membatin begitu, Kiai Tung-Tung angkat kedua tangannya menghadang kedua tangan Malaikat Jagal Manusia.


Bukk! Bukkk!


Baik Kiai Tung-Tung maupun Malaikat Jagal Manusia sama surutkan langkah dua tindak ke belakang. Dari benturan tangan kali ini, rupanya masing-masing orang sudah mulai dapat mengukur kekuatan tenaga dalam lainnya.


“Tenaga dalamnya sangat kuat. Jangan-jangan bukan Sontoloyo itu!” Malaikat Jagal Manusia mulai ragu dengan dugaannya melihat bagaimana tingkat tenaga dalam orang. “Atau ini karena dia telah memperoleh kitab kedua itu…?”


“Ada sesuatu yang ingin kau utarakan?!” tanya Kiai Tung-Tung melihat perubahan sikap orang.


Namun Kiai Tung-Tung tidak menunggu jawaban. Begitu selesai berkata dia sudah melompat seraya kelebatkan tangan kiri kanan ke caping Malaikat Jagal Manusia.


“Sialan! Dia ingin tahu siapa diriku! Ini tidak boleh terjadi sebelum aku dapat yakin siapa dia adanya!” desis Malaikat Jagal Manusia. Dia cepat mundur dan serta-merta menyongsong sosok tubuh Kiai Tung-Tung dengan lepaskan pukulan jarak jauh.


Wuutt! Wuutt!


Dua gelombang dahsyat menderu ganas. Kiai Tung-Tung terkesiap. Dia buru-buru tarik pulang kedua tangannya yang hendak menyambar caping Malaikat Jagal Manusia. Kedua tangannya serta-merta disentakkan ke depan.


Blamm!


Gelegar keras terdengar saat gelombang dari ke dua tangan Malaikat Jagal Manusia bentrok dengan gelombang yang keluar dari kedua tangan Kiai Tung-Tung.


Sosok Malaikat Jagal Manusia tersurut satu tindak. Demikian juga sosok Kiai Tung-Tung. Paras masing-masing orang berubah.


“Ternyata kau memiliki ilmu juga, Anak Manusia! Tapi jangan harap apa yang kau miliki bisa merubah nasib yang ku tentukan!” sentak Malaikat Jagal Manusia.


Habis berkata begitu, Malaikat Jagal Manusia berkelebat ke depan. Setengah jalan, dia sudah dorong kedua tangannya.


Wuutt! Wuutt!


Tempat itu seketika disemburati cahaya kuning. Lalu satu gelombang berhawa panas luar biasa menggebrak ganas.


“Pukulan ‘Lembur Kuning’! Jadi memang….” Kiai Tung-Tung tidak lanjutkan gumamannya. Sebaliknya dia buka mulut berteriak.


“Tahan, Eyang….”


Tapi teriakan Kiai Tung-Tung terlambat. Karena gelombang yang disemburati cahaya kuning dan membawa hawa panas menyengat itu telah mencuat.


Kiai Tung-Tung sesaat bimbang. Kalau dia tidak menyambut pukulan yang kini datang, dia bisa bayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya. Sebaliknya kalau dia sambuti pukulan itu, paling tidak akan membawa akibat pada kedua belah pihak. Padahal pukulan itu sudah menderu makin dekat dan tidak ada kesempatan lagi baginya untuk berpikir.


Pada puncak kebimbangannya, akhirnya Kiai Tung-Tung berkelebat ke belakang. Lalu dorong kedua tangannya ke depan lepaskan pukulan sakti ‘Lembur Kuning’.


Dari kedua tangan Kiai Tung-Tung yang tiba-tiba berubah menjadi kuning melesat cahaya kekuningan disertai gelombang dan hawa panas.


Blaammm!


Tempat itu laksana dilanda gempa luar biasa dahsyat. Tanahnya muncrat ke udara setinggi lima tombak lalu menebar berhamburan mendatar di atas udara sepanjang delapan tombak berkeliling. Hingga untuk beberapa saat udara di tempat itu laksana ditelan gelap malam.


Begitu hamburan tanah sirap kembali, di sebelah kanan tampak sosok Kiai Tung-Tung jatuh terduduk dengan tubuh bergetar keras. Caping lebarnya mencelat. Parasnya berubah pucat pasi. Mulutnya menganga lalu menutup dengan dada bergerak keras turun naik.


Sementara di seberang depan sana, sosok Malaikat Jagal Manusia duduk bersimpuh. Sepasang matanya mendelik menyipit. Caping yang dikenakannya juga mencelat amblas. Hingga raut wajahnya terlihat jelas.


“Benar-benar si Sontoloyo itu!” desis Malaikat Jagal Manusia begitu bisa melihat paras wajah Kiai Tung-Tung. Dia bergerak bangkit. Mendadak sepasang matanya melotot besar. Tanpa berkata apa-apa lagi dia berkelebat ke depan. Tangan kiri kanannya terangkat.


“Eyang…. Tunggu! Aku Joko!” teriak Kiai Tung-Tung menduga kalau Malaikat Jagal Manusia belum mengetahui siapa dirinya.


Malaikat Jagal Manusia yang ternyata adalah Pendeta Sinting tegak lima langkah di hadapan Kiai Tung-Tung alias Pendekar 131 Joko Sableng dengan tangan tetap terangkat dan mata mendelik angker. Mulutnya tiba-tiba perdengarkan suara keras.


“Sejak tadi aku tahu siapa kau, Sontoloyo!”


Joko Sableng berdiri lalu membungkuk memberi hormat sambil berkata.


“Kalau Eyang sudah tahu, mengapa memukul ku?!”


“Hem…. Rupanya kau belum sadar akan tindak-tandukmu selama ini! Dan kau kira aku tidak tahu, hah?!”


“Eyang…. Tunggu…. Sebenarnya ada apa ini?!”


Pendeta Sinting perdengarkan dengusan keras. “Kau masih juga berpura-pura!”


“Busyet! Jangan-jangan Eyang termakan kabar fitnah ini! Bisa celaka…,” gumam Joko lalu buka mulut.


“Eyang…. Harap jelaskan semuanya! Aku….”


“Apa lagi yang perlu ku jelaskan?!” potong Pendeta Sinting dengan membentak. Tangan kanan kirinya sudah bergerak.


“Eyang…. Tahan dulu! Biar aku yang menjelaskan!” ujar Joko dengan mata memperhatikan pada gerakan kedua tangan eyang gurunya. “Tentu Eyang mendengar sesuatu yang kurang baik tentang diriku….”


“Bukan kurang baik! Tapi perbuatanmu sudah melampaui batas! Mampus sudah layak menjadi bagianmu! Dan karena aku yang memberimu ilmu, adalah lebih layak jika tanganku sendiri yang harus menghentikan ulah mu!”


Joko Sableng menghela napas panjang. “Eyang…. Sebagai murid aku rela tanganmu yang mencabut nyawaku. Namun sebelumnya harap Eyang dengar dahulu penjelasanku.”


Pendeta Sinting turunkan kedua tangannya. “Cepat katakan penjelasan apa yang akan kau berikan!”


“Sesuai dengan permintaanmu di Kedung Ombo, tiga hari setelah peristiwa itu, aku ke Jurang Tlatah Perak. Namun kau tidak ada. Aku menunggu hampir setengah purnama. Namun kau tidak muncul juga. Kupikir telah terjadi sesuatu padamu. Aku berniat mencarimu….” Lalu Joko mulai menceritakan tentang pertemuannya dengan Dayang Sepuh di kedai, kemudian pertemuannya dengan Datuk Wahing, Setan Liang Makam, Kiai Laras, Kiai Lidah Wetan, Dewi Seribu Bunga, Saraswati, dan Putri Kayangan. Dia juga menceritakan bagaimana fitnah itu tiba-tiba menebar. Terakhir Joko menceritakan soal penyamaran dirinya sebagai Kiai Tung-Tung hingga pemakaman Nyai Suri Agung.


“Kau tidak mengarang cerita itu?!” tanya Pendeta Sinting begitu Joko hentikan ceritanya.


“Kelak jika kau bertemu dengan salah seorang yang kuceritakan, kau bisa membuktikannya, Eyang….”


“Kiai Laras…. Hem….” Pendeta Sinting bergumam.


“Eyang…. Kalau boleh ku tahu. Eyang mengenal dia?!”


“Dia siapa?!”


“Kiai Laras…. Karena gerak-geriknya mencurigakan!”


Pendeta Sinting berpaling. “Kau berpikir dalang di balik semua ini adalah dia?!” “Aku hanya mengaitkan apa yang pernah terjadi. Tapi semua itu masih perlu dibuktikan….”


“Tapi apa mungkin?! Dari apa yang ku tahu, rasanya mustahil dia bisa menerobos Kampung Setan dan tahu banyak tentang rahasia tempat itu!” kata Pendeta Sinting perlahan.


“Eyang…. Masalahnya sekarang bukan bagaimana dia bisa menerobos Kampung Setan meski hal itu patut ditanyakan. Yang lebih penting adalah, kalau memang benar-benar Kiai Laras, mengapa dia mengenakan penyamaran sebagai diriku?! Padahal aku tidak pernah punya urusan dengannya! Kalau seseorang melakonkan orang lain dengan maksud jahat, tentu orang itu punya sesuatu yang terpendam. Sementara kalau aku dan dia tidak punya urusan apa-apa, pasti urusannya ada di antara dia dengan orang yang dekat denganku. Sedang orang satu-satunya yang paling dekat denganku adalah kau…. Apa Eyang pernah punya urusan dengan Kiai Laras?!”


“Hem…. Aku memang pernah punya urusan dengan dia. Tapi kukira urusannya terlalu sepele jika harus diselesaikan dengan cara begini! Lagi pula urusan itu sudah tuntas dan kulupakan!”


“Eyang…. Seseorang akan berbeda dalam menghadapi satu urusan. Bisa saja kau menganggapnya sudah tuntas malah sudah melupakannya dan bahkan menghitungnya sebagai persoalan sepele! Namun mungkin saja orang lain beranggapan urusan belum tuntas malah menghitungnya sebagai urusan besar dan tidak bisa dilupakan sepanjang hidupnya!”


“Hem Sontoloyo ini sudah pandai pula bicara…,” kata Pendeta Sinting dalam hati. “Tapi ucapannya ada juga benarnya…. Hanya saja, mungkinkah Kiai Laras?!”


Selagi Pendeta Sinting masih membatin, Joko sudah buka mulut lagi.


“Eyang…. Mau katakan apa urusan antara Eyang dengan Kiai Laras?”


Untuk beberapa lama Pendeta Sinting terdiam. Sepasang matanya memandang jauh. Joko menunggu. Dan pada akhirnya Pendeta Sinting angkat bicara.

Donner une note à cet e-book

Dites-nous ce que vous en pensez.

Informations sur la lecture

Smartphones et tablettes
Installez l'application Google Play Livres pour Android et iPad ou iPhone. Elle se synchronise automatiquement avec votre compte et vous permet de lire des livres en ligne ou hors connexion, où que vous soyez.
Ordinateurs portables et de bureau
Vous pouvez écouter les livres audio achetés sur Google Play à l'aide du navigateur Web de votre ordinateur.
Liseuses et autres appareils
Pour lire sur des appareils e-Ink, comme les liseuses Kobo, vous devez télécharger un fichier et le transférer sur l'appareil en question. Suivez les instructions détaillées du Centre d'aide pour transférer les fichiers sur les liseuses compatibles.