Kelebihan Nota Elegia terletak pada passion penulisan puisi nan terjaga, bahkan dijaga agar senantiasa menyala dengan terus membuat pertanyataan-pernyataan puitik. Lirik dan diksinya selalu ditata--atau tersitata karena:--menyarankan situasi dari upaya eksplorasi serta eksploitasi emosi--lihat ”Melankolia” atau ”Nota Elegia IX”. Bahkan kengungunan itu sengaja dipertahankan secara kreatif dengan produktif menghadirkan catatan tentang hal-hal sepele yang mendadak mensijelma jadi kristal puitik--seperti terlihat dalam gugusan sajak-sajak pendek improvisatif ”Petcahan-petcahan Katca”.
Puisi-puisi dalam manuskrip Nota Elegia menunjukkan keterampilan si kreator dalam mengeksplorasi serta mengeksploitasi sarana kepuitikan--diksi, gaya bahasa, imaji, bunyi, serta tipografi--, sehingga kepaduan terjaga. Tiap unsur saling menguatkan dan dikuatkan unsur lain. Bahasanya jernih mengungkapkan makna. Dengan penguasaan sarana kepuitikan--meski bentuk ucapnya merujuk teknik dan gaya seperti digunakan oleh penyair 1990-an--mampu menghadirkan kebaruan, setidaknya kesegaran--seperti terlihat pada ”Memotong Rambut”, lewat pengulangan bait dan larik berselang-seling sedemikian rupa sehingga efek artistik, nada, dan irama mempertajam makna.
Secara keseluruhan, sebagai kumpulan puisi, Nota Elegia memiliki keunggulan kualitas pencarian. Si penyair menjelajahi ke timur dan ke barat, ke kampung serta ke kota, menyelam ke dalam tradisi dan berkecimpung di dalam modernitas, menenggok masa lalu serta mengintip masa kini, merunut fakta-fakta sambil menakik imajinasi, dan memastikan untuk melangkah ke ketidakpastian--selain meraup kata dari bahasa daerah dan bahasa asing. Ada kesengajaan untuk tetap tinggal di dalam ketegangan--bahkan penegangan, karena situasi tegang itu sengaja diciptakan--dari dua dunia yang secara binner berbeda. Di mana di satu sisi mengkondisikan dirinya sebagai si pencari kebenaran yang tak mau diliputi kebimbangan, tapi di sisi lain senantiasa menyangsikan alternatif yang mengisyarat dari ujung terowongan pencarian--sehingga tidak pernah tuntas ditelusuri sampai di ujung. Situasi--yang disadarinya sebagai si terkondisikan--bukan pengkondisian yang mengesankan dirinya hanya obyek dari subyek dominan--, seperti yang ditulisnya dalam kata pengantar, Rhythm of Skepticism--sebuah esai yang tak selesai--, yang ditegaskan lagi dalam ”Lee”. Kenapa? Agar senantia melantunkan kasih (”Kawih Kinasih”), meski bernada murung (”Melankolia”).- Catatan Dewan Juri Jabar Award 2013 -
Jun Nizami lahir di Jamanis, Tasikmalaya. Bergiat di Sanggar Sastra Tasik (SST). Menulis puisi dan cerpen dalam Bahasa Sunda dan Indonesia. Tulisan-tulisannya dimuat di beberapa Surat Kabar, seperti: Suara Merdeka, Pikiran Rakyat, Kompas, Tribun Jabar, Jurnal Sajak, SK Priangan, Cupumanik Majalah Sunda, Sastra Digital, Radar Tasikmalaya, serta di beberapa buku antologi: Padang Oase (2009), G 30 S (2010), Musibah Gempa Padang (2010), Antologi Cerpen Imazonation (2010), TigaBiruSegi (2011), Tuah Tara No Ate (Temu Sastrawan Indonesia-IV, 2011), Di Kamar Mandi, Antologi Puisi 62 Penyair Jawa Barat (Komunitas Malaikat, 2012), Diverse, 120 Indonesian Poets (Shell, 2012), Sauk Seloko (PPN VI, 2012), Kampung Bulan, Antologi Puisi Penyair Tasikmalaya (2012). Diundang pada acara Ubud Writers & Readers Festival (UWRF 2013). Meraih Jabar Award 2013 untuk manuskrip puisi Nota Elegia.