Karbala: Jejak Darah di Senja Asyura

· Pantera Publishing
5.0
8 ವಿಮರ್ಶೆಗಳು
ಇ-ಪುಸ್ತಕ
424
ಪುಟಗಳು
ರೇಟಿಂಗ್‌ಗಳು ಮತ್ತು ವಿಮರ್ಶೆಗಳನ್ನು ಪರಿಶೀಲಿಸಲಾಗಿಲ್ಲ  ಇನ್ನಷ್ಟು ತಿಳಿಯಿರಿ

ಈ ಇ-ಪುಸ್ತಕದ ಕುರಿತು

Sinopsis


Muharram merupakan bulan di mana terjadi beberapa peristiwa besar – sejak milenium Nabi-nabi sebelum era Rasul Muhammad yang agung. Dan, Muharram – 10 Syuraa 61 H / 680 M, pada kurun para sahabat Nabi – menjadi Muharam kelabu dalam catatan sejarah langit. Muharram yang menjadi saksi ironi sejarah perjalanan sang cucu Rasul di padang Karbala.


Husein meninggalkan Madinah menuju kota Makkah. Tekanan dan pilihan yang ditawarkan Yazid bin Muawiyah sebagai khalifah di Syam ( Suriah ) membuat Husein tidak nyaman. Saat bersamaan datang beberapa surat dari Kufah ( Irak ) yang mengharapkan kehadiran Husein dan menyatakan penduduk Kufah siap berbait dan menjaga keamanan Husein.


Akan tetapi, perjalanan Husein terhenti di padang Karbala. Pasukan Ubaidillah Ibnu Ziyad, Gubernur Kufah, di bawah panglima Umar bin Sa’ad mengepung padang Karbala. Dari sisi kanan terlihat Umar bin Hajjaj. Dari sisi kiri tegak Syimr bin Dzil Jausyan. Pasukan berkuda di bawah komando Azrah bin Qois. Pasukan pejalan kaki di bawah perintah Syabath bin Rab’i.


Bendera perang berada di tangan Zubaib. Di seberang, pasukan Husein tegak menanti. Zuhair bin Qain menunggu di sisi kanan. Habib bin Madhahir di sisi kiri. Bendera berada di tangan Abbas bin Ali.


Dan, pagi Asyyura itu telah mengumandangkan nyanyian ironinya ketika Umar bin Sa’ad membidikkan anak panah pertamanya seraya berteriak. “ Wahai penduduk Kufah.


Saksikanlah bahwa aku adalah orang pertama yang membidikkan anak panah pada pasukan Husein. Sampaikan hal ini kepada Gubernur Kufah, Ubaidillah bin Ziyad!”


Husein berdiri menyongsong hujan anak panah seraya berseru. “Bangkitlah wahai para pembela agama Allah. Songsonglah syahadah yang telah menjadi bagian kita. Anak-anak panah ini adalah pesan surga yang mereka kirim.”


Satu persatu pembela Husein gugur di padang Karbala. Husein menatap langit seraya berdoa. “Ya Allah…. Engkaulah sandaranku dalam kesulitan. Tumpuan harapan dalam


kesusahan. Hanya Engkau kepercayaan dan kekuatanku, apapun yang menimpa diriku.


Betapapun lemah hatiku, betapa pun tipu daya telah menghilangkan harapanku, betapapun kawan-kawan telah menjauhiku dan musuh-musuh gembira karena deritaku. Aku sampaikan doaku kepada-Mu. Aku hanya mengadu kepada-Mu. Dengan mengharapkan Engkau sendiri.


Engkau telah menghiburku. Engkau telah membuka nikmat padaku. Engkaulah pemilik segala kebaikan. Tujuan akhir segala harapan.”


Di sudut sana, Ummu Wahb menyongsong suaminya – Abdullah bin Umair Al-Kalby -- yang kembali dari medan laga seraya berteriak kencang. “Abdullah! Kembalilah ke medan laga. Korbankan dirimu untuk manusia suci Husein cucu Rasul. Demi Allah tak akan kubiarkan engkau gugur sendirian. Aku akan bersamamu menyongsong syahadah!”


Sejarah akan mencatat Ummu Wahb sebagai perempuan syahadah pertama di padang Karbala.


Periode terbaik – periode para sahabat dan para Tabi’in – ternyata tidak menjamin berlangsungnya sebuah silaturahmi peradaban dan ukhuwah kesejukan. Belum satu abad Rasul meninggalkan umatnya, tapi darah telah mengalir menggenangi Karbala. Bahkan kepala sang cucu Rasul harus terpenggal di ujung senja Assyura, di bawah bayangan merah langit Karbala.


Zhaenal Fanani



“Sampaikan salamku untuk Al-Husain. Jika kelak kau bertemu kakeknya, mintakan aku syafaat darinya. Selamat jalan wahai matahariku….. Melangkahlah seperti langkah para pengantin. Busungkan dadamu seperti busungan dada para syuhada Badar. Jemput hari bahagiamu ini seperti kegembiraan para kafilah surga……Aku akan selalu mengenang dan mendoakanmu. Aku bangga kepadamu.”


“Aku…..”


“Jangan bicara apapun,” sela Dailam binti Amr memotong. “Pandang aku sejenak.


Setelah itu berbaliklah dan jangan menoleh lagi.”


Zuhair Ibnu Qain membiarkan pandangannya melekat beberapa lama di wajah Dailam binti Amr. Lalu seperti apa yang diminta mantan istrinya, ia berbalik dan pergi tanpa berpaling lagi.


“Selamat meniti jalan surgamu…..,” bisik Dailam binti Amr.


Suara Dailam binti Amr masih terdengar oleh telinga Zuhair bin Qain. Namun ia terus melangkah.



Prolog


Milenium para sahabat menjadi era luar biasa – zaman terbaik sepanjang sejarah kehidupan umat Islam. Muhammad sang Rasul Agung merupakan narasi autentik yang menjawab semua tantangan dan kebutuhan umatnya saat itu. Beliau hadir sebagai ikon Tuhan dalam konsep ibadah, perbuatan, etika dan kepemimpinan – bukan saja bagi bangsa Arab namun juga untuk dunia. Selama hampir 23 tahun, Muhammad memiliki akses penuh terhadap turunnya firman-firman. Performa kepemimpinannya merupakan hasil mengagumkan yang pernah ditorehkan seorang laki-laki pada geografis gurun Arab yang masih lekat dengan ciri-ciri superioritas, hegemoni kesukuan dan legalitas kebengisan. Perpaduan antara daya juang, kesalehan, kesederhanaan, kejeniusan dan firman adalah fenomena baru yang spektakuler yang hadir pada sosok seorang Muhammad dan menghebohkan padang gurun pada pertengahan abad ke enam.


Perjalanan spektakuler Muhammad bahkan sudah dimulai sebelum usianya menginjak 6 tahun. Dan usia 40 tahun menjadi momen penting yang benar-benar menjadi titik sejarah sebuah perjalanan fenomenal. Perjalanan yang mengantarnya menjadi seorang pendiri satu agama besar. Perjalanan yang meletakkan dirinya sebagai pemimpin sekaligus sosok yang abadi – yang terus ‘hidup’ bukan saja pada pribadi-pribadi di zamannya, tapi juga pada pribadi-pribadi ribuan tahun setelah kewafatannya. Perjalanan sejarahnya sanggup melintasi ruang dan waktu. Sang Rasul Muhammad adalah insan yang sepenuhnya mampu menggerakkan energi penghuni di kawasan bumi ini. Hingga hari ini, namanya terus disebut-sebut. Dan, di mana namanya disebut, disitulah sosoknya akan terus dikenang.


Hari ini, lintasan dunia telah berubah menjadi kawasan yang sempit – berkat kecanggihan teknologi, lobi politik dan globalisasi ekonomi. Namun sesungguhnya, seorang Rasul Muhammad telah melakukan semua itu dengan ‘caranya sendiri’ pada seribu empat ratus tahun silam. Yang mengagumkan, pengaruhnya terus melesat, merentang melintasi gurun Arab : merubah peradaban, memperbaharui karakter, membentuk seni baru, menawarkan pola perdagangan dan ekonomi baru serta menanamkan hidup damai.


Para penerusnya terus mengembangkan sayap : menciptakan hubungan dengan dunia di luar Arab. Pada pemerintahan khalifah Umar bin Khattab penetrasinya telah menembus kota tua Yerusalem.


Namun sejarah sebuah bangsa selalu diwarnai dengan peristiwa-peristiwa yang mengejutkan, bahkan terkadang di luar perhitungan dan bahkan pula hanya beberapa saat setelah sang pemimpin besarnya wafat. Kesalahan persepsi pada masing-masing figur dan terlambatnya mengambil kebijakan saat kewafatan Nabi, dimana pada satu sisi Ali bin Abi Thalib dan keluarga harus mengurus jenazah, di sisi lain para sahabat besar : Abu Bakar As-Shidiq, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan, berkumpul di Saqifah – sebuah perkampungan Bani Sa’idah – melakukan pembicaraan untuk menetapkan pemimpin baru, menjadi titik awal timbulnya perpecahan dan kelak menjadi garis pemisah : yang membedakan dan melahirkan tragedi. Perpecahan kian menempati alur sejarah manakala tokoh-tokoh yang tampil sebagai pemimpin mulai menyimpang dari karakter seorang pemimpin. Dan lewat serangkaian ‘episode kebetulan’ di Maskin, dekat Madain, Kufah, yang menaikkan Muawiyah bin Abi Sufyan ke tampuk ke khalifahan, perpecahan menemukan rute perjalanannya. Bahkan seolah sebagai pernyataan pemisahan, Muawiyah menetapkan Syiria ( Damaskus ) sebagai pusat kepemimpinannya, menandingi Madinah yang selama beberapa periode menjadi pusat pemerintahan Islam dan Kufah yang dijadikan pusat pemerintahan Ali bin Abi Thalib.


Dan, semuanya berujung pada Muharram 61 H atau Oktober 680 M. Ketika itu siapapun tidak menyadari kemungkinan bahwa sejarah peradaban Islam tengah memasuki babak baru yang mengejutkan. Siapapun tidak menduga kemungkinan lahirnya ironi perjalanan yang mengawali episode baru sebuah tragedi kemanusiaan.


Tak lama setelah menerima estafet kekhalifahan dari mendiang ayahnya, mengawali babak baru monarki dalam Islam, Yazid bin Muawiyah melakukan ‘penekanan’ politik pada daerah-daerah kekuasaannya yang dimungkinkan muncul pergerakan yang menentang kekhalifahannya. Yazid pun – dengan alasan demi keamanan dan kedamaian kaum Muslimin – meminta agar Husain bin Ali, Abdullah bin Zubair dan Abdullah bin Umar melakukan baiat sebagai kunci bagi legalitas kekhalifahannya. Sementara di satu pihak Husain bin Ali merasa hak kaum Muslimin sebagai penentu kandidat khalifah telah dicederai. Amanah yang telah disepakati antara Muawiyah bin Abi Sufyan dengan Hasan bin Ali di Maskin, dekat Madain, Kufah pada 41 H / 661 M telah disingkirkan dan diganti dengan pengangkatan putra mahkota.


10 Muharram 61 H / 10 Oktober 680 M menandai satu titik penting dan menjadi mimpi buruk bagi perjalanan sebuah peradaban dan kepemimpinan pada sebuah dinasti yang baru lahir. Karbala merupakan saksi yang menopang lahirnya elemen eksploitasi pada kekuasaan sekaligus elemen warna kesyahidan. Elemen pertama memberi sinyal bahwa era luar biasa pada milenium para sahabat belum memiliki kesanggupan menghentikan derap keperkasaan sebuah kekuasaan. Kekuasaan masih menjadi komoditi tangguh dan harkat keagamaan – syariat – terlalu ringkih untuk menghadapinya. Kekuasaan menjadi palang pintu yang menghambat gerak laju sebuah ‘peradaban Nabi’ yang telah digagas sebelumnya oleh Nabi Muhammad dan para Khulafaur Rasyidin ( Amirul Mukminin ) selama 60 tahun. Elemen kedua menawarkan gambaran banyak hal tentang puncak kesyahidan dalam kematian – yang auranya tetap hidup dan menggenang dalam jiwa dan benak orang-orang hingga hari ini.


Karbala bukan kantong rahim kelahiran Husain bin Ali. Karbala bukan area yang terkenal di masanya. Karbala merupakan kawasan yang lepas dan teracuhkan dari hingar bingar sejarah.


Karbala adalah nuansa gersang dan kosong yang tertatih-tatih dalam sepi di bawah kejayaan Babilonia dan Mesopotamia masa lalu. Namun eksploitasi kekuasaan dan jejak kesyahidan telah memposisikan gurun tersebut menjadi area suci. Setelah melintasi ribuan tahun, orang masih mengingatnya. Dan nama Husain bin Ali menjadi atribut pemujaan. Hari kewafatannya diperingati dengan dimensi kesakralan yang menggetarkan. Husain bin Ali menjelma menjadi sosok penting dan suci dari sebuah dinasti kekhalifahan dan keturunan. Di beberapa belahan dunia, Husain bin Ali menempati ruang kudus dan menjadi sosok sentral dalam ritual peringatan. Dan, Karbala adalah mausoleum yang memproklamirkan fenomena keberadaannya sebagai jembatan persatuan, pengikat tali ukhuwah dan tadabbur kematian.


Pengikutnya terus meningkat, terpesona dalam kegamangan pujian, terkesima dalam bingkai kesedihan dan terserap dalam ketakjuban cinta.


Husain bin Ali lebih dari sekedar cucu sang Nabi akhir zaman. Ia adalah energi spiritual dan harapan kepemimpinan di masa mendatang.


Lalu…..


Karbala merupakan hamparan misterius bagi jengkal tanah yang terbentang dalam kondisi terabaikan, jauh dari pesta keindahan dan tak dikenal.


Karbala adalah tragedi sekaligus evolusi.


ZHAENAL FANANI

ರೇಟಿಂಗ್‌ಗಳು ಮತ್ತು ಅಭಿಪ್ರಾಯಗಳು

5.0
8 ವಿಮರ್ಶೆಗಳು

ಲೇಖಕರ ಕುರಿತು

ZHAENAL FANANI LAHIR 07 MARET DI DAMPIT, MALANG, JAWA TIMUR.


PENDIDIKAN SD NEGERI DAMPIT 1, MTSN MALANG, MA MALANG DAN UNISMA. BEBERAPA TAHUN NYANTRI DI PONDOK PESANTREN RAUDALATUL MUTA’ALLIMIEN DAN PONDOK PESANTREN SALAFIYAH SHIROTUL FUQOHA’, MALANG.


KURUN 1993 – 1997 MENULIS SERIAL SILAT


PENDEKAR MATA KERANJANG 12 EPISODE ( CINTA MEDIA, JAKARTA ) JOKO SABLENG 53 EPISODE ( CINTA MEDIA, JAKARTA ) PENDEKAR SERIBU BAYANGAN 18 EPISODE ( KARYA ANDA, SURABAYA )


NOVEL YANG TELAH DITERBITKAN :


MADAME KALINYAMAT ( DIVA PRESS, 2009 ) TSU ZHI ( DIVA PRSS, 2009 ) KANTATA ABABIL ( DIVA PRESS, 2010 ) TROY ( DIVA PRESS, 2010 ) THE CRONICLE OF JENGISKHAN ( DIVA PRESS, 2010 ) AEROMATICAL ( DIVA PRESS, 2010 ) SUJUDILAH CINTAMU ( DIVA PRESS, 2011 ) GERBANG DUNIA KETIGA ( DIVA PRESS, 2011 ) TABUT ; ARK OF COVENANT ( DIVA PRESS, 2011 ) ANAK-ANAK LANGIT ( DIVA PRESS, 2011 ) SHEMA ; WHIRLING DERVISH DANCE ( DIVA PRESS, 2011 ) SENJA DI ALEXANDRIA ( DIVA PRESS, 2011 ) MENORAH ( DIVA PRESS 2011 ).

ಈ ಇ-ಪುಸ್ತಕಕ್ಕೆ ರೇಟಿಂಗ್ ನೀಡಿ

ನಿಮ್ಮ ಅಭಿಪ್ರಾಯವೇನು ಎಂದು ನಮಗೆ ತಿಳಿಸಿ.

ಮಾಹಿತಿ ಓದುವಿಕೆ

ಸ್ಮಾರ್ಟ್‌ಫೋನ್‌ಗಳು ಮತ್ತು ಟ್ಯಾಬ್ಲೆಟ್‌‌ಗಳು
Android ಮತ್ತು iPad/iPhone ಗೆ Google Play ಪುಸ್ತಕಗಳ ಆ್ಯಪ್ ಇನ್‌ಸ್ಟಾಲ್ ಮಾಡಿ. ಇದು ನಿಮ್ಮ ಖಾತೆಯನ್ನು ಸ್ವಯಂಚಾಲಿತವಾಗಿ ಸಿಂಕ್‌ ಮಾಡುತ್ತದೆ ಮತ್ತು ನೀವು ಎಲ್ಲೇ ಇರಿ ಆನ್‌ಲೈನ್‌ ಅಥವಾ ಆಫ್‌ಲೈನ್‌ನಲ್ಲಿ ಪುಸ್ತಕಗಳನ್ನು ಓದಲು ಅನುಮತಿಸುತ್ತದೆ.
ಲ್ಯಾಪ್‌ಟಾಪ್‌ಗಳು ಮತ್ತು ಕಂಪ್ಯೂಟರ್‌ಗಳು
Google Play ನಲ್ಲಿ ಖರೀದಿಸಿದ ಆಡಿಯೋಬುಕ್‌ಗಳನ್ನು ನಿಮ್ಮ ವೆಬ್‌ ಬ್ರೌಸರ್‌ನ ಕಂಪ್ಯೂಟರ್‌ನ ಲ್ಲಿ ಆಲಿಸಬಹುದು.
eReaders ಮತ್ತು ಇತರ ಸಾಧನಗಳು
Kobo ಇ-ರೀಡರ್‌ಗಳಂತಹ ಇ-ಇಂಕ್ ಸಾಧನಗಳ ಕುರಿತು ಓದಲು, ನೀವು ಫೈಲ್ ಅನ್ನು ಡೌನ್‌ಲೋಡ್ ಮಾಡಬೇಕಾಗುತ್ತದೆ ಮತ್ತು ಅದನ್ನು ನಿಮ್ಮ ಸಾಧನಕ್ಕೆ ವರ್ಗಾಯಿಸಬೇಕು. ಫೈಲ್‌ಗಳು ಮತ್ತು ಬೆಂಬಲಿತ ಇ-ರೀಡರ್‌ಗಳನ್ನು ವರ್ಗಾವಣೆ ಮಾಡಲು ವಿವರವಾದ ಸಹಾಯ ಕೇಂದ್ರ ಸೂಚನೆಗಳನ್ನು ಅನುಸರಿಸಿ.