Kutuk Sang Angkara

· Serial Cerita Silat Joko Sableng - Pendekar Pedang Tumpul 131 စာအုပ် 25 · Pantera Publishing
၅.၀
သုံးသပ်ချက် ၂
E-စာအုပ်
120
မျက်နှာ
အဆင့်သတ်မှတ်ချက်နှင့် သုံးသပ်ချက်များကို အတည်ပြုမထားပါ  ပိုမိုလေ့လာရန်

ဤ E-စာအုပ်အကြောင်း

TEMPAT itu seketika berubah menjadi terang benderang diselimuti cahaya merah, hitam, dan putih serta kuning. Warna merah, hitam, dan putih mencuat dari Kembang Darah Setan di tangan Kiai Laras, sementara warna kuning berasal dari dorongan kedua tangan murid Pendeta Sinting.


Sepuluh jengkal lagi sinar dari Kembang Darah Setan bentrok dengan pukulan Pendekar 131, mendadak saja sosok Putri Kayangan laksana dibungkus cahaya warna merah berkilau. Kejap lain dari tubuh gadis cantik ini melesat kilauan warna merah lurus ke arah kiblatan sinar tiga warna dari Kembang Darah Setan.


Terdengar benturan keras beberapa kali. Saat yang sama tempat itu laksana dihantam gempa raksasa serta petir maha dahsyat. Udara diterpa cahaya yang membuat semua mata terpejam karena silau. Hawa panas luar biasa menyengat tajam laksana matahari hanya beberapa tombak di atas hamparan bumi. Kejap lain terdengar ledakan keras menggelegar.


Sosok murid Pendeta Sinting yang melepas pukulan ‘Lembur Kuning’ dengan melompat di atas udara, tampak tersapu mental dan turun dari atas tanah dengan lutut menekuk terhuyung-huyung. Joko coba kuasai diri. Namun huyungan tubuhnya terlalu cepat. Hingga tanpa ampun lagi sosoknya melorot jatuh. Namun dua jengkal lagi pantatnya menghantam tanah, tiba-tiba terdengar bersinan dua kali.


Pendekar 131 rasakan ada desiran angin dari bawah pantatnya. Gerakan pantatnya terhenti malah terangkat! Dan saat lain sosok murid Pendeta Sinting telah tegak dengan kedua kaki laksana dipaku!


Di seberang sana, sosok Putri Kayangan terjengkang. Saat tubuhnya hampir saja melabrak tanah, satu bayangan merah berkelebat dan langsung menyambar tubuh si gadis. Melayang beberapa tombak ke udara lalu menukik deras dan menjejak di atas tanah. Si bayangan turunkan sosok Putri Kayangan yang berada di pundaknya.


Putri Kayangan cepat berpaling. Terlihat Dayang Sepuh cemberut dan berkata.


“Kau benar-benar gadis setan! Sudah kuperingatkan malah adu mulut di sini!”


“Nek…. Terima kasih atas pertolonganmu! Kuharap kau mengerti. Bukannya aku tidak mau dengar perintahmu. Tapi aku harus pergi bersama saudaraku itu!”


“Saudaramu sudah kerasukan setan! Sekarang kau pergilah sendirian dari tempat ini!”


Putri Kayangan geleng kepala. “Aku baru tinggalkan tempat ini jika bersamanya! Aku tak akan menghadap Eyang Guru dengan tangan hampa….”


“Kalau itu keinginanmu, kau bukannya akan menghadap eyang gurumu dengan tangan hampa namun dengan tanpa nyawa!”


“Itu lebih baik daripada pulang dengan tidak bisa laksanakan tugas yang diberikan padaku…!”


“Setan keras kepala!” sentak Dayang Sepuh. “Bicara seenak perutnya sendiri! Harusnya kau berpikir. Untuk sementara tinggalkan tempat ini. Dan kau punya kesempatan untuk sadarkan saudaramu dari kesetanan!”


“Waktu hanya akan menambah saudaraku berbuat makin gila, Nek…!”


“Kalau begitu kau mampus saja!” seru Dayang Sepuh saking jengkelnya mendengar jawaban-jawaban Putri Kayangan.


“Nenek aneh…. Tapi aku tahu hatinya baik meski nada bicaranya kasar…,” kata Putri Kayangan dalam hati.


“Nek….”


“Aku bukan nenekmu! Aku tak mau bicara dengan gadis setan sepertimu!”


Putri Kayangan kancingkan mulut dengan menghela napas panjang. Saat itulah ia baru merasakan dadanya sesak dan berdenyut nyeri. Mulutnya terasa hangat dan asin. Saat si gadis usapkan tangan pada mulutnya, ternyata mulutnya telah alirkan darah, pertanda bentroknya pukulan tadi telah membuatnya terluka dalam. Sementara di depan sana, Kiai Laras tampak tegak dengan seringai buas. Sesaat tadi dia terhuyung namun tidak sampai terjatuh. Dia pun hanya merasakan sentakan pelan pada dadanya tatkala terjadi benturan antar pukulan. Hingga dia bukan saja tidak mengalami cedera, namun segera dapat kuasai diri.


Di hadapan Kiai Laras, Setan Liang Makam tampak angkat kepalanya. Namun sebelum kepalanya benar-benar terangkat, Kiai Laras sudah menghardik.


“Berani angkat kepalamu dari tanah, kepalamu akan kutanggalkan!”


Setan Liang Makam cepat sentakkan kembali kepalanya dan ditempelkan di atas tanah. Tidak jauh dari Setan Liang Makam, Pitaloka tampak menungging dengan mata melirik ke arah Jubah Tanpa Jasad.


Mungkin saking jengkelnya mendapati apa yang baru saja terjadi, Kiai Laras segera pula menghardik pada Pitaloka seakan hendak tumpahkan semua kegeramannya.


“Kau juga! Letakkan keningmu di atas tanah!”


Pitaloka tersenyum. Lalu lakukan apa yang dikatakan Kiai Laras. Kiai Laras putar tubuh menghadap Putri Kayangan dan Dayang Sepuh.


“Gadis setan! Kau masih juga ingin mampus?!” tanya Dayang Sepuh.


“Kau sendiri bagaimana, Nek?!” Putri Kayangan balik bertanya membuat si nenek berpaling dengan pasang tampang angker.


“Itu urusanku, Gadis Setan!”


“Semua urusan di sini aku yang tentukan!” Tiba-tiba Kiai Laras menyahut. “Dan untuk kalian berdua ku tentukan mampus saat ini juga!”


Bersamaan dengan selesainya bentakan, Kembang Darah Setan di tangan kanan Kiai Laras sudah berkelebat. Dayang Sepuh dan Putri Kayangan sempat terkesiap. Namun keduanya buru-buru gerakkan tangan masing-masing. Dayang Sepuh takupkan kedua tangan di depan kening lalu dibuka dan didorong perlahan ke depan.


Di sampingnya, Putri Kayangan takupkan kedua tangannya di depan dada. Sepasang matanya dipejamkan.


Entah karena tak mau melihat Dayang Sepuh dan Putri Kayangan terluka, Pendekar 131 segera berkelebat ke depan. Kembali kedua tangannya didorong melepas pukulan sakti ‘Lembur Kuning’.


Untuk kedua kalinya tempat itu laksana ditelan cahaya menyilaukan. Tebaran hawa panas menyengat menyungkup. Saat lain gelegaran keras terdengar.


Tiga sosok tubuh tampak bermentalan. Yang pertama adalah sosok Dayang Sepuh. Disusul Putri Kayangan dan murid Pendeta Sinting. Dayang Sepuh mental satu tombak dan jatuh terduduk dengan mulut menganga hembuskan napas karena dadanya laksana baru saja dihantam tembok. Satu setengah tombak di samping Dayang Sepuh, Putri Kayangan terkapar dengan mulut kucurkan darah. Parasnya yang cantik berubah seperti tidak berdarah. Sebagian pakaian yang dikenakan hangus.


Tidak jauh dari tempat terkaparnya Putri Kayangan, murid Pendeta Sinting jatuh terjengkang dengan mulut megap-megap dan kedua tangan bergetar hebat.


Di seberang, Jubah Tanpa Jasad bergerak deras ke belakang. Lalu terjungkal di atas tanah dengan perdengarkan dengusan marah. Namun dalam beberapa saat Jubah Tanpa Jasad telah bergerak bangkit. Kiai Laras merasakan aliran darahnya terbalik-balik. Walau tadi telah kelebatkan Kembang Darah Setan dengan alirkan tenaga dalam pada tangan kanannya hingga lesatan sinar tiga warna berkiblat makin menggidikkan, namun hadangan tiga pukulan sekaligus mau tak mau membuat Kiai Laras tak mampu kuasai huyungan tubuhnya. Hanya saja dia kembali masih merasakan laksana ada tabir penghalang di depan tubuhnya saat bentrokan terjadi. Hingga meski sempat terjungkal, namun dia tidak mengalami cedera yang cukup berarti.


Begitu mendapati Jubah Tanpa Jasad telah bangkit, baik Putri Kayangan, Dayang Sepuh, dan murid Pendeta Sinting segera pula berusaha berdiri. Pendekar 131 segera melompat dan tegak di samping Dayang Sepuh.


“Ada yang ingin kau bicarakan, Cucu Setan?!” Dayang Sepuh telah mendahului.


“Kurasa dia terlalu berbahaya. Apakah Bibi tahu bagaimana cara menghadapi orang itu?!”


“Kalau tahu, tak mungkin aku sampai begini rupa!”


Murid Pendeta Sinting berpaling pada Gendeng Panuntun. Rupanya Dayang Sepuh dapat menangkap arti pandangan Pendekar 131. Hingga si nenek kembali buka suara.


“Manusia buta itu juga tak tahu apa-apa!”


““Kakek Datuk Wahing?!” tanya Joko.


“Setan tua itu tahunya cuma heran dan bersin!”


Joko alihkan pandang matanya pada Jubah Tanpa Jasad. “Hem…. Pukulan ‘Lembur Kuning’ digabung dengan pukulan Dayang Sepuh dan Putri Kayangan tidak mampu berbuat banyak! Akan ku coba dengan pukulan ‘Serat Biru’! Aku harus segera tahu siapa gerangan manusia di balik jubah itu!”


Berpikir sampai ke sana, Joko cepat kerahkan tenaga dalam pada tangan kirinya. Saat itu juga tangan kirinya berubah menjadi biru.


Dayang Sepuh mencibir. “Kau kira pukulanmu akan bisa menekuknya?!”


“Setidaknya aku berusaha!” “Jangan terlalu mengumbar tenaga percuma! Tiga pukulan sekaligus tidak dapat membuatnya bertekuk lutut. Kita harus cari jalan lain!”


“Jalan lain bagaimana?!”


“Bukan di sini tempatnya membicarakan! Kita tinggalkan tempat ini segera!”


“Tapi dia tak mungkin membiarkan kita pergi begitu saja!”


“Kita gebuk sama-sama! Lalu kita segera angkat kaki!”


Baru saja Dayang Sepuh berkata begitu, tiba-tiba dari arah seberang sana Datuk Wahing angkat tangan kanannya. Di sampingnya, Gendeng Panuntun beranjak bangkit.


“Bruss! Brusss! Bruss!”


Datuk Wahing perdengarkan bersinan tiga kali. Namun bersinan itu laksana diperdengarkan dari delapan penjuru mata angin dan suaranya terus memantul tiada putus-putus. Saat bersamaan tangan kanan Datuk Wahing bergerak mendorong. Satu gelombang menderu ganas ke arah Jubah Tanpa Jasad. Seperti halnya suara bersinan, suara deru gelombang itu terus memantul!


Begitu tangan kanan Datuk Wahing bergerak, Gendeng Panuntun usap cermin bulatnya. Satu cahaya putih berkiblat menyilaukan mata menghampar ke arah Jubah Tanpa Jasad.


“Apa lagi yang ditunggu?!” teriak Dayang Sepuh. Kedua tangannya ditakupkan di depan kening. Lalu dibuka dan didorong perlahan ke depan.


Putri Kayangan seakan tahu apa maksud semua orang. Dia tidak tinggal diam. Kedua tangannya cepat ditakupkan di depan dada. Sepasang matanya dipejamkan.


Murid Pendeta Sinting sesaat terdiam. Namun di kejap lain tangan kirinya yang telah berubah biru tanda dia siap lepaskan pukulan ‘Serat Biru’ cepat dikelebatkan ke depan.


Karena yang melepas pukulan saat itu bukan orang sembarangan, tempat ini laksana neraka saking panasnya. Suara deruan yang memantul ditambah dengan cahaya berkilau dan serat-serat biru laksana benang terang bertabur. Belum lagi cahaya merah yang melesat dari tubuh Putri Kayangan serta gelombang luar biasa dari dorongan kedua tangan Dayang Sepuh.


Kiai Laras yang sesaat tadi hadapkan diri pada Dayang Sepuh dan murid Pendeta Sinting segera berpaling begitu mendengar suara bersinan Datuk Wahing. Dia terkesiap melihat tiba-tiba sang Datuk telah lepas pukulan disusul dengan Gendeng Panuntun.


Rasa kaget sang Kiai belum sirna, dia dikejutkan dengan lepasnya pukulan dari kedua tangan Dayang Sepuh yang disusul dengan Putri Kayangan serta Pendekar 131.


Pada puncak keterkejutannya, Kiai Laras bukannya takut, melainkan tertawa bergelak! Karena dengan cara yang dilakukan oleh beberapa orang di situ, Kiai Laras kini merasa maklum kalau dirinya tidak bisa dihadapi hanya oleh seorang atau dua orang. Dan itu berarti dirinya bukan lagi orang yang bisa dipandang remeh! Apalagi dia tahu, orang-orang yang melepaskan pukulan saat itu adalah tokoh rimba persilatan yang ketinggian ilmunya tidak diragukan lagi.


Dalam hujanan pukulan yang kini mengarah padanya, Kiai Laras masih berpikir cepat. Bukan saja dia harus menghadang pukulan, namun setidaknya dia harus selamatkan Setan Liang Makam dan Pitaloka serta Kiai Lidah Wetan yang sejak tadi hanya diam dan makin tergagu tatkala mengetahui bagaimana pukulan-pukulan yang sekarang membuncah tempat itu.


Pada mulanya Kiai Laras memang tidak tahu apa yang hendak dilakukan pada Setan Liang Makam, Pitaloka, serta Kiai Lidah Wetan. Namun begitu mulai sadar kalau kekuatan yang dimilikinya sangat dahsyat, dia mulai bisa berpikir apa yang kelak bisa dilakukan pada ketiga orang itu. Hingga dia kini berniat menyelamatkan juga ketiga orang itu.


Karena pukulan yang kini melabrak pada Kiai Laras sangat luar biasa dan tidak mungkin bagi sang Kiai untuk lakukan penghadangan sekaligus menyelamatkan ketiga orang, maka tanpa pikir panjang lagi Kiai Laras melompat ke depan. Belum sampai kedua kakinya menginjak tanah, dia lakukan gerakan menendang ke samping kiri kanan ke arah sosok Setan Liang Makam dan Pitaloka yang merangkak. Saat bersamaan tangan kirinya kelebatkan jubah hitamnya.


Bukkk! Bukkk!


Setan Liang Makam dan Pitaloka tersentak. Begitu cepatnya gerakan Kiai Laras, belum sampai keduanya sempat membuat gerakan, sosok keduanya telah mental. Saat yang sama Jubah Tanpa Jasad menderu angker. Kiai Lidah Wetan rupanya tahu gelagat. Dia berkelebat. Namun terlambat. Sambaran Jubah Tanpa Jasad yang keluarkan sambaran angin dahsyat telah menggebrak. Hingga bukan saja membuat sosok Kiai Laras terhenti, namun jubah terpelanting dan terbanting jatuh dengan punggung di atas tanah, satu setengah tombak dari tempatnya tadi berdiri!


Setelah membuat tiga sosok mental, Kiai Laras cepat kerahkan tenaga dalam pada tangan kiri kanannya. Saat lain tangan kanan yang memegang Kembang Darah Setan disentakkan ke depan. Tangan kiri mengambil Jubah Tanpa Jasad di bagian tengahnya lalu dikelebatkan.


Sinar tiga warna mencuat menggidikkan ditingkah dengan menderunya gelombang raksasa.


Terdengar ledakan menggelegar. Di udara tampak bertaburan kilauan cahaya pecah dan muncrat. Gelombang angin bermentalan dan mengambang di udara dengan arah tak bisa ditentukan. Tanahnya tersapu dan mengangkasa membungkus suasana, hingga kilauan cahaya dan berkiblatnya sinar yang tadi menghampar laksana disabet setan dan tiba-tiba lenyap ditelan hamburan tanah! Tempat itu sekonyong-konyong gelap gulita!


Ketika suasana kembali terang dengan luruhnya tanah, sosok Kiai Laras terlihat terkapar di atas tanah. Demikian juga sosok Setan Liang Makam, Pitaloka, serta Kiai Lidah Wetan.


Sesaat Kiai Laras perhatikan dirinya. Lalu bangkit terhuyung-huyung. Sepasang matanya liar memandang berkeliling. Dari mulutnya terdengar makian panjang pendek. Karena ternyata Putri Kayangan, Dayang Sepuh, Datuk Wahing, serta Gendeng Panuntun sudah tidak kelihatan lagi!

အဆင့်သတ်မှတ်ခြင်း၊ သုံးသပ်ခြင်း

၅.၀
သုံးသပ်ချက် ၂

ဤ E-စာအုပ်ကို အဆင့်သတ်မှတ်ပါ

သင့်အမြင်ကို ပြောပြပါ။

သတင်းအချက်အလက် ဖတ်နေသည်

စမတ်ဖုန်းများနှင့် တက်ဘလက်များ
Android နှင့် iPad/iPhone တို့အတွက် Google Play Books အက်ပ် ကို ထည့်သွင်းပါ။ ၎င်းသည် သင့်အကောင့်နှင့် အလိုအလျောက် စင့်ခ်လုပ်ပေးပြီး နေရာမရွေး အွန်လိုင်းတွင်ဖြစ်စေ သို့မဟုတ် အော့ဖ်လိုင်းတွင်ဖြစ်စေ ဖတ်ရှုခွင့်ရရှိစေပါသည်။
လက်တော့ပ်များနှင့် ကွန်ပျူတာများ
Google Play မှတစ်ဆင့် ဝယ်ယူထားသော အော်ဒီယိုစာအုပ်များအား သင့်ကွန်ပျူတာ၏ ဝဘ်ဘရောင်ဇာကို အသုံးပြု၍ နားဆင်နိုင်ပါသည်။
eReaders နှင့် အခြားကိရိယာများ
Kobo eReader များကဲ့သို့ e-ink စက်ပစ္စည်းပေါ်တွင် ဖတ်ရှုရန် ဖိုင်ကို ဒေါင်းလုဒ်လုပ်ပြီး သင့်စက်ထဲသို့ လွှဲပြောင်းပေးရမည်။ ထောက်ပံ့ထားသည့် eReader များသို့ ဖိုင်များကို လွှဲပြောင်းရန် ကူညီရေးဌာန အသေးစိတ် ညွှန်ကြားချက်များအတိုင်း လုပ်ဆောင်ပါ။