begitu saja. Ia lahir melalui proses pergulatan sastrawan
dengan kondisi sosial—budaya zamannya. Maka, membaca karya
sastra hakikatnya membaca keadaan masyarakat dan budaya yang
terungkap dalam karya itu. Jadi, sastra menyimpan pemikiran
sastrawannya juga.
Perjalanan sejarah sastra Indonesia, tidak dapat
dilepaskan dari peranan Balai Pustaka. Khazanah
kesusastraan yang diterbitkan Balai Pustaka ibarat harta
kebudayaan bangsa. Maka, membaca seri sastra adiluhung
yang diterbitkan Balai Pustaka ini, tidak hanya sebagai
usaha menelusuri kembali jejak masa lalu tentang kondisi
sosial budaya zamannya, tetapi juga coba menelisik
pemikiran pengarangnya sekaligus. Dengan begitu, kita
akan menemukan banyak hal yang sekarang ini mungkin
hanya ada dalam catatan sejarah.
Dengan pemahaman itu, pembelajaran sastra di sekolah
dengan memanfaatkan seri sastra adiluhung ini, penting
artinya. Kita akan mengetahui jejak sastra Indonesia ke
belakang dan perjalanannya sampai ke masa sekarang. Kita
juga dapat menyentuh bidang lain: bahasa, sejarah, sosiologi,
antropologi, geografi, bahkan juga politik yang berlaku
pada waktu itu. Memang, dalam karya sastra—bidang itu—
disinggung untuk kepentingan jalinan cerita. Tetapi justru
di situlah, sisi lain makna karya sastra menjelma dokumen
sosiologis, historis, dan bidang-bidang yang disebutkan
tadi. Sekadar menyebut beberapa contoh, simaklah
kegelisahan Sitti Nurbaya mengenai statusnya sebagai
perempuan pribumi. Bukankah harapannya untuk dapat
bersekolah seperti ada benang merahnya dengan semangat
Kartini atau Dewi Sartika di Bandung; bukankah pada masa
itu perempuan-perempuan lainnya juga menyuarakan
pentingnya sekolah bagi kaum perempuan? Perhatikan juga
kisah percintaan Hanafi dan Corrie du Busse dalam Salah
Asuhan. Untuk dapat menikah dengan Corrie, seorang Indo
(Prancis), sebagai pribumi, Hanafi harus memperoleh status
persamaan hak. Bukankah persoalan itu berkaitan dengan
politik kolonial Belanda? Bagaimana pula dengan Dari
Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma karya Idrus yang banyak
berkisah tentang keadaan zaman Jepang? Penderitaan dan
semangat revolusi yang terungkap di sana seperti memberi
inspirasi kepada kita tentang pentingnya nasionalisme.
Jelaslah, banyak aspek lain yang terkandung dalam
sastra. Oleh karena itu, membaca seri sastra adiluhung
laksana memandang panorama kekayaan budaya masa
lalu kita. Ia dapat digunakan pula sebagai cermin tentang
perjalanan budaya dan pemikiran bangsa Indonesia.
Kehadiran kembali seri sastra adiluhung, sungguh
menawarkan banyak hal bagi pembaca sekarang. Balai
Pustaka sengaja menampilkannya dengan wajah baru,
agar pembaca dapat menikmatinya dengan semangat
baru, perspektif atau sudut pandang baru, dan pemaknaan
yang juga baru. Dengan demikian, seri sastra adiluhung
ini dapat menjadi saksi bicara tentang masa lalu sejarah
bangsa Indonesia untuk menatap masa depan yang lebih
cemerlang. Selamat menikmati!