Informasi yang disampaikan pun bias dan cenderung fitnah mengadu domba, mengakibatkan sampah-sampah informasi bertebaran di jagad virtual. Akibatnya, tidak jarang pengguna medsos dan khalayak awam beranggapan agitasi sesat itu sebagai sebuah kebenaran. Para pengguna medsos kemudian beramai-ramai “membunuh” karakter orang-orang tertentu atau lembaga-lembaga tertentu. Inilah yang disebut sebagai pembunuhan karakter (character assasination). Fenomena yang terjadi di Indonesia seperti yang dijelaskan di atas menunjukkan bahwa netizen di dalam negeri, masih gagap dalam menghadapi perkembangan media digital. Di satu sisi, mereka mampu mengoperasionalkan perkembangan piranti keras (hardware) dan piranti lunak (software), namun di sisi lain banyak rakyat Indonesia yang belum memahami tentang konsekuensi dari keberadaan media digital dalam kehidupan sehari.
Hingga saat ini, masih banyak masyarakat yang belum memanfaatkan media internet sebagai sarana produktif untuk mendapatkan, menyebarluaskan dan memasok informasi yang benar dan bermanfaat bagi kehidupan manusia. Meski berbagai upaya telah dilakukan, Pemerintah, ormas keagamaan, akademisi hingga LSM untuk membangkitkan literasi media digital di kalangan khalayak, namun untuk mengurangi berita-berita sampah masih perlu perjuangan berat dan perjalanan terjal yang panjang. Harus diakui, masyarakat Indonesia pada umumnya telah sanggup mengikuti perkembangan literasi digital. Namun, kesadaran untuk melakukan cek, ricek dan kroscek terhadap informasi yang didapat, masih sangat lemah. Pengguna internet tidak mengenal usia, mulai dari usia anak hingga manula.
Menulis sejumlah artikel opini dengan berbagai tema di sejumlah media massa nasional. Sudah melahirkan beberapa buku yang diterbitkan secara online. Aktif di organisasi keagamaan, ghost writer, Islamic documentary movie maker, aktif mengajar di lembaga pendidikan formal dan non-formal dan masih banyak lagi. Tertarik dengan isu-isu kontemporer sosial keagamaan, media massa, jurnalistik, hingga pertahanan negara.