Kampung ini cukup terpencil. Berada di antara jajaran kebun teh. Di ujung barat sana adalah sebuah bukit dan hutan belantara. Sungai mengalir dengan jernih membelah kampung ini.
Aku tinggal di rumah lumayan besar untuk ukuran rumah di kampung ini. Mas Arka, suamiku, mewarisi salah satu perkebunan teh yang dimiliki keluarga ini sejak dari nenek masih muda.
Setengah dari perkebunan teh di kampung ini adalah milik keluarga Mas Arka. Sementara setengahnya lagi dimiliki oleh orang luar kampung ini, dari Jakarta.
“Buk, dari mana?” tanyaku. Saat melihat ibu mertuaku baru saja datang.
“Oh, habis dari rumah Pak RT,” jawabnya datar.
“Anaknya sudah melahirkan? Bukannya masih ....” Aku mengingat-ingat sembari menaksir usia kehamilan anak Pak RT itu.
“Masih empat bulan.”
“Terus?” tanyaku lagi.
“Keguguran.”
“Astaga. Semoga anak Pak RT ikhlas dan tabah menghadapi cobaan ini.”
“Justru ini jauh lebih baik daripada anak itu lahir.”
“Maksudnya? Aku tidak mengerti, Buk.”
“Sudahlah. Pada saatnya nanti kamu juga akan mengerti.”
Ibu mertuaku memang seorang dukun bayi di kampung ini. Profesi yang sudah diwarisi secara turun-temurun. Dulu sewaktu nenek masih sehat, ibu mertuaku hanya menemani saja. Sekarang setelah nenek sudah sepuh, ibuk mengajak Bik Lasmi, pembantu di rumah ini untuk membantunya.
“Itu apa, Buk?” tanyaku, ketika melihat ibu mertuaku membawa kantong kresek hitam.
“Oh, ini tadi oleh-oleh dari Pak RT. Untuk nenek.”
“Oh, apa isinya?” tanyaku masih penasaran.
“Bik, simpan ini. Nanti bantu saya masak, ya.”
“Iya.” Bik Lasmi bergegas mengambil kantong kresek itu dan lalu pergi menuju kamar nenek.
Ibu mertuaku berlalu begitu saja tanpa memberi jawaban terlebih dahulu. Aku merasa semakin banyak keanehan di rumah ini. Lebih tepatnya di keluarga ini. Pertanyaan-pertanyaan sudah semakin banyak menumpuk di kepalaku.
“Buk! Aku ikut masak, ya.” Aku bergegas berdiri lalu mengejar ibu mertuaku ke arah dapur.
“Suamimu belum bilang?” tanyanya, menghentikan langkahnya.
“Sudah. Aku ndak boleh memasak. Aku cukup diam saja di rumah ini.”
“Lah ... itu.”
“Aku merasa jadi istri tak berguna, Buk.”
“Kamu itu berguna. Suamimu itu sungguh ingin memanjakanmu. Ibuk juga sama. Cuma satu yang Ibuk ndak suka dari kamu.” Ibu mertuaku menatapku.
“Apa?” tanyaku pelan tanpa gairah lagi.
“Terlalu penasaran.” Ibu mertuaku kembali berjalan menuju dapur.