Aku menelan ludah susah payah, mendengar apa yang Ibu bisikan di telingaku. Dengan berat aku menerima perjodohan ini. Atas semua kemauan Ibu dan Bapak.
Sebelumnya aku juga tak pernah kenal dengan suamiku. Kami hanya bertemu beberapa kali saja. Saat lamaran dan kini menikah.
Suamiku memang tampan. Namun, gurat wajahnya terlihat dingin dan angkuh. Bertanya saja aku tidak berani, apalagi sampai ke hal yang lebih intim.
“Ibu sama Bapak nggak nginep sini?” timpalku.
Kedua mata belo Ibu mendelik. “nggak. Ibu, Bapak sama adikmu pulang aja. Ingat kata-kata Ibu tadi ya? Apalagi kalau nanti kamu cepat hamil, pasti keluarga Keynan akan semakin membuat ATM kita gendut,” tambahnya, bagai cambuk yang memecutku kuat. Segampang itu menyuruh tanpa tahu bagaimana rasanya jadi aku!
Bak buah simalakama, hidupku serba salah. Tak menuruti kemauan orangtua, dicap anak durhaka. Menuruti kemauan orangtua, hidupku dalam derita. Mereka enak, bisa berfoya-foya dengan uang yang mertuaku berikan. Sedangkan aku ... aku yang dikorbankan untuk masuk ke kandang macan.