Pemikiran feminisme juga membuka cakrawala yang berbeda. la tidak hanya mengenai ilmu dan pengetahuan, tetapi juga lebih jauh tentang cara manusia sendiri dalam melembagakan keterhubungannya dengan dunianya. Pemikiran feminisme dalam epistemologi dan filsafat ilmu menunjukkan bahwa ilmu bukan hanya mewakili cara manusia memahami dunia di luarnya, melainkan juga merefleksikan cara manusia memosisikan dirinya di dalam dunia dan orientasinya dalam berinteraksi dengan dunia tersebut. Cara berpikir yang mengandaikan keterpisahan dan superioritas manusia atas dunianya akan menghasilkan karakter pengetahuan yang dominatif dan manipulatif.
Argumentasi utama buku ini adalah pengetahuan selalu bergender, demikian juga ilmu. Hal ini berarti, tatanan gender yang sudah umum dijumpai dalam situasi sosial, budaya, dan politik memberikan pengaruh yang mendasar pada produksi, distribusi, institusionalisasi, dan aplikasi pengetahuan serta implikasinya bagi posisi laki-laki dan perempuan dalam tatanan tersebut. Ilmu, dapat dikatakan, dihasilkan di dalam dan berkontribusi pada tatanan tersebut. Namun, pada saat yang sama, ilmu juga memungkinkan perubahan atas tatanan tersebut apabila kehendak pada keadilan dan kesetaraan dapat ditanamkan dalam konstruksi pengetahuan melalui sumber-sumber pengetahuan alternatif.
Buku ini dapat diterima sebagai semacam upaya untuk memperkenalkan pemikiran feminisme dalam disiplin epistemologi dan filsafat ilmu. Kajian atas khazanah pemikiran feminisme di bidang ini masih belum tersentuh untuk konteks kajian filsafat di Indonesia. Hal ini sebenarnya mencerminkan terbatasnya diskusi tentang kritik dan pemikiran feminisme dalam tradisi epistemologi dan filsafat ilmu itu sendiri. Bagi sebagian besar mereka yang berkecimpung di dunia ilmu-ilmu sosial dan humaniora, filsafat itu sendiri, apalagi epistemologi, merupakan wilayah studi yang sulit. Dengan memperkenalkan feminisme, membuat seolah-olah kajian ini menjadi lebih ruwet dan secara akademik hampir tak terjangkau. Barangkali hal-hal tersebut yang membuat pemikiran feminisme dalam studi ini nyaris tidakterdengar di dunia akademik di I ndonesia.
Rachmad Hidayat adalah dosen pada Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Ia mengajar Feminisme, Teori-Teori Sosial, dan Teori Post-Modernisme. Ia telah menekuni kajian tentang gender dan khususnya maskulinisme selama lebih dari sepuluh tahun. Sebelumnya ia pernah bekerja di Kalijaga Institute for Justice, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, sebagai research assistance pada The Asia Institute, The University of Melbourne; dan menjadi visiting scholar pada The Institute for Politics, Religions and Society, The Australian Catholic University. Ia memperoleh gelar M.A. pada 2010, lalu Ph.D. pada 2016 dari Monash University, Australia, dengan penelitian tentang maskulinisme pada kalangan muslim. Di antara karyanya ialah Ilmu yang Seksis, Feminisme dan Perlawanan terhadap Teori Sosial Maskulin (Jendela, 2004), Men’s Involvement in Reproductive Health, an Islamic Perspective (dengan Hamim Ilyas, PSW, 2006), dan sejumlah artikel jurnal, baik nasional maupun internasional tentang gender dan maskulinisme. Ia turut mendirikan dan menjadi peneliti utama pada Institute for Masculinities, Violence and Religion (IMVIRE).