“Bang kapan sih kita bisa keluar dari sini?”
“Innsya Allah bentar lagi, sabar ya,”
“Sssttt … jangan buru-buru.” Suara lain menyela.
Pendakian ke gunung Rinjani yang seharusnya menjadi sebuah petualangan yang menyenangkan, berubah menjadi peristiwa tragis yang diselimuti kabut mistis setelah salah satu di antara mereka mengambil sebuah benda di dalam Goa yang dikeramatkan oleh sebagian orang di gunung Rinjani.
Mereka dipaksa bertahan dalam situasi mencekam dan horor tanpa seorang Leader setelah sang Leader mengalami kecelakaan.
Teka-teki apakah yang tersembunyi?
Bang Ron mencoba memberikan contoh, ia mulai memanjat terlebih dulu agar dapat diikuti oleh yang lain. Trek ini benar-benar berbahaya dan membutuhkan fokus yang tinggi. Tapi, kondisi fisik Bang Ron mulai terlihat letih, terlebih ia tidak makan siang. Keringat pun mulai membasahi telapak tangannya. Kondisi telapak tangan yang basah akan mengurangi kekuatan cengkeraman jari pada tebing.
Bang Ron melipir ke arah kanan menanjak sekitar lima meter kemudian ke arah kiri menanjak.
Diah dan Zahra membuntuti, lalu disusul Opik dan Jeko. Mereka berusaha mendaki sesuai arahan, tapi Bang Ron semakin keletihan, fisiknya lelah, kedingingan, dan mulai berhalusinasi karena perut yang kosong.
Ia tampak berbicara dengan sesuatu yang tak dapat dilihat oleh anggota tim lainnya. Ia seakan melihat seseorang yang mengarahkannya untuk terus memanjat tebing melipir ke arah kanan.
"Oh ... ini pijakannya ... Oh iya," ucap Bang Ron berbicara sendiri. Ia berhalusinasi.
Terlihat cahaya headlamp menyorot ke arah tim Bang Ron dari Pelawangan Jalur Selatan seperti memberi bantuan penerangan. Tapi, Bang Ron sudah melipir agak jauh ke kanan. Diah dan Zahra mulai merasa Bang Ron hilang arah dan tak tahu harus berpijak di mana.
"Bang, bukannya ke kiri?" teriak Diah mengingatkan. Ia ingat arahan Bang Ron sebelum memanjat tebing tersebut.
Bang Ron berhenti sejenak, ia menghadap ke arah belakang. Kakinya hanya berpijak seujung sepatu gunung, mungkin hanya dua inci. Jemarinya basah berkeringat memegang rekahan tebing. Kini ia berpegangan dengan dua ujung jari, jari telunjuk dan jari tengah.
Untuk mengurangi beban, Bang Ron membuang tas carrier dari punggungnya. Bang Ron terus berjuang mempertahankan posisinya, tapi karena lekukan batu pegangan menjadi licin karena keringat, naas ia ikut terjatuh bersama carrier-nya ke dasar kawah. Semua tim berteriak ketakutan, situasi berubah panik, dan mereka terkejut bukan kepalang.
Rochy Mario Djafis terlahir dengan nama asli Maulana Rosihan Islam Djafis, ia lahir di Mataram, 2 Juni 1989. Ia menamatkan kuliah S1 Pendidikan Bahasa Inggris di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mataram pada tahun 2015. Selama kuliah, ia aktif di beberapa organisasi salah satunya adalah Mapala FKIP Unram yang telah memberikannya banyak pengalaman yang tak terlupakan sehingga lahirlah novel ini yang berjudul Pendakian Jalur Selatan Rinjani. Kini, selain aktif menulis, ia juga tercatat sebagai seorang tenaga pendidik di SMKPP Negeri Mataram.