“Aduh, Pak Penghulu. Udah nggak usah banyak tanya, langsung saja nikahkan saya sama
dia. Saya nggak ada banyak waktu nih.” Awan melirik Jingga yang duduk di sampingnya
tanpa ekspresi, sorot matanya kosong seolah tidak memiliki gairah hidup.
Matanya sudah sembab karena air mata yang terus keluar tanpa henti.
“Hebat. Satu hari nikah dua kali, untung nggak kayak minum obat sampai tiga kali.”
Penghulu itu geleng-geleng kepala.
“Tidak apa nikah dibawah tangan dulu, soal surat-surat menyusul, akan kami urus,” bisik
Pak Dandi, ayahnya Jingga.
“Yah ....” Jingga merengek pada sang ayah dengan air mata yang kembali berderai.
“Sudah cukup kamu bikin Ayah malu, Jingga. Sekarang kamu harus terima apapun
keputusan Ayah, ini untuk kebaikan kamu juga, untuk nama baik keluarga kita.”
Pernikahan yang sudah direncanakan dengan matang itu akhirnya terjadi dengan mempelai
pria yang tidak seharusnya menjabat tangan ayahnya Jingga. Dalam satu hari Awan
menikahi dua wanita, itu jelas bukan keinginannya.
Biasanya akad nikah itu dibarengi dengan tangis haru bukan tangis pilu seperti ini. Jingga
pasrah karena merasa hidupnya juga sudah tidak berarti lagi setelah ditinggalkan begitu
saja oleh calon suaminya di hari pernikahan mereka.
Tidak ada yang bisa tahu seperti apa perihnya luka hati Jingga, sesaknya rongga dada
wanita itu saat menghadapi kenyataan pahit yang menyiksa.
“Ji, gue balik dulu ya. Welly pasti nungguin gue.” Awan menatap Jingga yang masih diam
seribu bahasa.
Karena tidak ada sahutan, Awan berjongkok di hadapan wanita itu mencubit pipi Jingga