Proses dan tempat penyidikan masih menjadi hal yang sangat “eksklusif” yang berisiko memunculkan tindakan-tindakan kekerasan dari aparat. Dalam beberapa kasus tidak jarang pada proses penyidikan kekerasan dilakukan untuk mempersingkat waktu penyidikan agar tersangka cepat melakukan pengakuan. Salah satu instrumen internasional yang dapat digunakan dalam perlindungan tahanan di masa penyidikan adalah melalui Optional Protocol to the Convention Against Torture (OPCAT). Salah satu arti penting ratifikasi OPCAT adalah dimungkinkannya penambahan cara-cara monitoring terhadap hak-hak yang termuat di dalam perjanjian yang asli (UNCAT). Pengalaman berharga dapat dipetik dari ratifikasi Protokol Opsional untuk Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (Kovenan dan Protokol, keduanya mulai berlaku tahun 1976) dan Protokol Opsional tahun 1999 untuk Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan dimana keduanya dapat memberikan penguatan komitmen serta kebijakan penghapusan diskriminasi. Selain itu, kedua Protokol Opsional ini juga memperluas kompetensi masing-masing komite monitoring untuk menerima komunikasi-komunikasi dan melakukan investigasi terhadap pelanggaran perjanjianperjanjian pokok. Jadi meskipun bersifat opsional, keberadaan OPCAT sangat dibutuhkan di Indonesia guna memastikan adanya pendekatan baru yang memastikan transparansi dan akuntabilitas khususnya di tempat-tempat penahanan. Analisis kebijakan ditingkat POLRI dalam hal pencegahan segala bentuk penyiksaan, perlakukan atau penghukuman tidak manusiawi yang potensial melanggar martabat kemanusiaan khususnya pada proses pemeriksaan dan penahanan menunjukan bahwa masih terdapat problem instrumental, structural, dan kultural. Problem krusial dalam aspek instrumental tersebut meliputi: pertama, transformsi paradigma POLRI menjadi polisi sipil berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2002 menjadi modalitas kuat dalam mengimplementasikan serangkaian kebijakan dan instrumen HAM; kedua, serangkaian kebijakan normatif yang sudah ada menunjukan bahwa dalam pelaksanaan fungsi preventif, preemtif, maupun represif, masih terdapat celah-celah dimungkinkannya terjadi tindakan penyiksaan, perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat; ketiga, atas dasar prinsip proporsionalitas, “kekerasan” dalam penggunaan kekuatan yang dilakukan oleh anggota Polri masih mendapatkan ruang bahkan dilindungi secara hukum khususnya dalam penanganan konflik; keempat, meskipun secara umum substansi hukum terkait dengan prinsipprinsip HAM sudah diakomodir sampai pada kebijakan level Kapolri, namun kebijakan ini nampaknya belum sampai menyentuh pada aspek perspektif personal, teknis detil atas tugas (SOP), pendekatan, maupun budaya organisasi. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan melalui pendekatan KUHAP yang dominan dengan pendekatan “clearance rate” atau “crime clearance”. Tuntutan adanya “clearance rate” pada organisasi kepolisian pada akhirnya menjadi pola budaya organisasi yang berpengaruh pada aspek personal penyidik. Pendekatan ini erat kaitannya dengan crime control model dimana efisiensi proses pidana itu menjadi intinya kerja profesi kepolisian, tidak jarang dilakukan dengan mengabaikan kualitas dari proses penyidikan. Meskipun secara normatif substansial model pemeriksaan “inkuisitur (inquisitoir)” telah berubah dan diganti dengan model “akuasatur (accusatoir)”, namum internalisasi model terbaru belum sepenuhnya dapat dijalankan pada kepolisian. Hal ini nampak dari fokus utama dalam model interogasi terhadap tersangka yang hanya berfokus pada pendekatan pengkuan niat jahat (mensrea).