Perlindungan Tahanan dari Penyiksaan dan Ill Treatment di Indonesia

Penerbit Pustaka Rumah C1nta
Ebook
128
Pages
Ratings and reviews aren’t verified  Learn More

About this ebook

Proses dan tempat penyidikan masih menjadi hal yang sangat “eksklusif” yang berisiko memunculkan tindakan-tindakan kekerasan dari aparat. Dalam beberapa kasus tidak jarang pada proses penyidikan kekerasan dilakukan untuk mempersingkat waktu penyidikan agar tersangka cepat melakukan pengakuan. Salah satu instrumen internasional yang dapat digunakan dalam perlindungan tahanan di masa penyidikan adalah melalui Optional Protocol to the Convention Against Torture (OPCAT). Salah satu arti penting ratifikasi OPCAT adalah dimungkinkannya penambahan cara-cara monitoring terhadap hak-hak yang termuat di dalam perjanjian yang asli (UNCAT). Pengalaman berharga dapat dipetik dari ratifikasi Protokol Opsional untuk Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (Kovenan dan Protokol, keduanya mulai berlaku tahun 1976) dan Protokol Opsional tahun 1999 untuk Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan dimana keduanya dapat memberikan penguatan komitmen serta kebijakan penghapusan diskriminasi. Selain itu, kedua Protokol Opsional ini juga memperluas kompetensi masing-masing komite monitoring untuk menerima komunikasi-komunikasi dan melakukan investigasi terhadap pelanggaran perjanjianperjanjian pokok. Jadi meskipun bersifat opsional, keberadaan OPCAT sangat dibutuhkan di Indonesia guna memastikan adanya pendekatan baru yang memastikan transparansi dan akuntabilitas khususnya di tempat-tempat penahanan. Analisis kebijakan ditingkat POLRI dalam hal pencegahan segala bentuk penyiksaan, perlakukan atau penghukuman tidak manusiawi yang potensial melanggar martabat kemanusiaan khususnya pada proses pemeriksaan dan penahanan menunjukan bahwa masih terdapat problem instrumental, structural, dan kultural. Problem krusial dalam aspek instrumental tersebut meliputi: pertama, transformsi paradigma POLRI menjadi polisi sipil berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2002 menjadi modalitas kuat dalam mengimplementasikan serangkaian kebijakan dan instrumen HAM; kedua, serangkaian kebijakan normatif yang sudah ada menunjukan bahwa dalam pelaksanaan fungsi preventif, preemtif, maupun represif, masih terdapat celah-celah dimungkinkannya terjadi tindakan penyiksaan, perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat; ketiga, atas dasar prinsip proporsionalitas, “kekerasan” dalam penggunaan kekuatan yang dilakukan oleh anggota Polri masih mendapatkan ruang bahkan dilindungi secara hukum khususnya dalam penanganan konflik; keempat, meskipun secara umum substansi hukum terkait dengan prinsipprinsip HAM sudah diakomodir sampai pada kebijakan level Kapolri, namun kebijakan ini nampaknya belum sampai menyentuh pada aspek perspektif personal, teknis detil atas tugas (SOP), pendekatan, maupun budaya organisasi. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan melalui pendekatan KUHAP yang dominan dengan pendekatan “clearance rate” atau “crime clearance”. Tuntutan adanya “clearance rate” pada organisasi kepolisian pada akhirnya menjadi pola budaya organisasi yang berpengaruh pada aspek personal penyidik. Pendekatan ini erat kaitannya dengan crime control model dimana efisiensi proses pidana itu menjadi intinya kerja profesi kepolisian, tidak jarang dilakukan dengan mengabaikan kualitas dari proses penyidikan. Meskipun secara normatif substansial model pemeriksaan “inkuisitur (inquisitoir)” telah berubah dan diganti dengan model “akuasatur (accusatoir)”, namum internalisasi model terbaru belum sepenuhnya dapat dijalankan pada kepolisian. Hal ini nampak dari fokus utama dalam model interogasi terhadap tersangka yang hanya berfokus pada pendekatan pengkuan niat jahat (mensrea).

About the author

Triantono, S.H., M.H., dosen pada Program Studi Hukum Universitas Tidar (UNTIDAR). Lahir di Banjarnegara 19 September 1985. Menyelesaikan pendidikan S-1 dan S-2 pada Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada (UGM) dan saat ini sedang menempuh pendidikan tingkat doktoral di FH Universitas Diponegoro (UNDIP). Selain mengajar dan melakukan penelitian, ia  juga aktif dalam berbagai kegiatan sebagai konsultan atau pakar atau narasumber untuk isu-isu hukum, kebijakan, hak asasi manusia, gender, perlindungan perempuan dan anak baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat sipil. Saat ini ia juga menjadi bagian penting dalam kerja-kerja pengembangan metodologi untuk transformasi dengan menjadi direktur eksekutif pada lembaga Suluh Inisiatif Indonesia. Berbagai karya ilmiah yang dihasilkan dari penelitian maupun merupakan gagasan pemikiran telah dipublikasikasin dalam bentuk buku, jurnal, maupun media massa.


Website: pustakarumahc1nta.com;

Instagram: @pustakarumahc1nta

Rate this ebook

Tell us what you think.

Reading information

Smartphones and tablets
Install the Google Play Books app for Android and iPad/iPhone. It syncs automatically with your account and allows you to read online or offline wherever you are.
Laptops and computers
You can listen to audiobooks purchased on Google Play using your computer's web browser.
eReaders and other devices
To read on e-ink devices like Kobo eReaders, you'll need to download a file and transfer it to your device. Follow the detailed Help Center instructions to transfer the files to supported eReaders.