Ekonomi pertanian bagi sebuah Negara sejatinya merupakan sektor ekonomi basis dalam pembangunan perekonomian negara tersebut. Indonesia dikenal tidak hanya sebagai Negara maritim, namun juga sebagai Negara agraris. Dimana hampir 50 persen lapangan kerja disediakan oleh sektor pertanian. Namun, di sisi lain kebanyakna masyarakat miskin di Indonesia juga berasal dari sektor pertanian. Kenyataan tersebut seakan menafikan keseriusan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Selama ini petani hanya dijadikan “alat” politik bagi penguasa. Hal tersebut tercermin dari berbagai janji dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Selama ini kebijakan bidang pertanian yang dikkeluarkan oleh pemerintah cenderung menguntungkan korporasi, mulai dari subsidi benih hingga pengelolaan lahan. Reforma agraria sebagai pondasi pembangunan pertanian yang dicetuskan oleh Bung Hatta samapi saat ini juga belum terealisasi. Lahan yang seharusnya dapat dikelola dan dimanfaatkan oleh rakyat justru disewakan atau bahkan dijual kepada pihak asing, hal tersebut terungkap dalam laporan “Transnational Land Deals for Agriculture in the Global South” yang dikeluarkan lokeh The Land Matrix Partnership. Plasma nuthfah yang diharapkan dapat mengangkat kesejahteraan petani justru dijadikan alat perusahaan untuk melakukan efisiensi dan memaksimalkan laba mereka. Hal tersebut juga mirip dengan operasional VOC pada jaman penjajahan dahulu. Petani Indonesia harus dikeluarkan dari keadaan yang snagat pro neoliberalis ini. Jika pemerintah benar-benar ingin meningkatkan kesejahteraan petani serta ingin menciptakan kemandirian dan ketahann pangan pemerintah harus meningkatkan SDM para petani. Pemerintah juga harus mengembalikan kedaulatan beih, tanah dan air para petani.