Aku berdiri di balik pintu dapur, sengaja ingin tahu apa yang hendak dia sampaikan kepada Mas Abizar, suamiku.
Mas Abi tertawa kecil, dia memasukkan tangan ke saku celana. Lalu, perlahan berjalan mendekati Nayla. Lelakiku menatap sahabatku dengan tatapan entah apa. Mungkin kah rasa cintanya dulu kepada wanita itu masih ada?
"Lawakanmu cukup membuatku terhibur," sahut suamiku dingin.
"Aku serius, Bi. Aku cinta sama kamu. Maaf, kalau dulu aku menolak kamu karena---"
"Karena aku gembel? Ah, ya, apa perlu aku mengingatkanmu tentang itu? Betapa pedasnya ucapanmu dan ibumu. Aku tidak akan lupa, Nayla."
Kulihat air muka Nayla berubah. Jujur saja, ada rasa takut yang menyelinap diam-diam. Aku sangat ingat saat Mas Abi patah hati karena penolakan Nayla. Jangankan suamiku, diriku saja merasakan sakit yang teramat sangat. Saat itu, aku tengah bermain di rumah Nayla. Abizar datang dengan kemeja biru yang sudah pudar warnanya. Aku tersenyum melihat dirinya datang.
"Apa kau tidak sadar diri? Melamar anak orang hanya bermodalkan keyakinan saja. Sorry, aku gak suka lelaki miskin macam dirimu," tolak Nayla waktu itu seraya berkacak pinggang.ย