Aku bahkan sudah lupa cara menuliskan nama tokoh utama
yang pernah kuhadirkan secara bersambung dalam Facebookku:
apakah ditulis KaRen atau KaRens? Hanya yang kuingat, aku
berhenti pada cerita ke-36. Bagi seorang penulis pemula, amatiran,
atau baru dalam tahapan belajar, menulis sebanyak itu, bisa
dikatakan merupakan jumlah yang lumayan.
Aku tidak menulis rangkaian cerita bertajuk Karen setiap
hari. Kesibukan dan mood merupakan dua faktor yang sangat
berpengaruh dalam memulai dan menyelesaikan satu episode
cerita. Edisi Karen sebanyak itu diselesaikan dalam tempo 3 bulan.
Dari sisi waktu, tidak bisa dibandingkan dengan novelis tenar,
katakanlah Tere Liye. Berdasarkan pelacakan di media daring,
Tere Liye mengaku, rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk satu
novel sekitar 720 jam atau 1 bulan. Untuk ukuran kecepatan,
Tere Liye sepertinya mengalahkan Dewi Lestari Simangunsong,
atau yang memopulerkan dirinya dengan Dee saja. Siapa yang
tidak kenal Dee yang telah menelorkan banyak novel. Satu di
antaranya bertajuk Supernova.
Satu karya Dee yang paling kusukai adalah Fillosofi Kopi yang
diliris pertama kali pada 2006. Pada 2015 versi film Filosofi Kopi
diliris. Tidak sempat menonton melalui layar lebar di gedung
bioskop, beruntung aku bisa menikmatinya melalui audio and video
on demand dalam penerbangan dengan Garuda dari Surabaya-
Jakarta. Karya Dee lainnya yang dikoleksi anakku yang kedua,
Mega, bertajuk Perahu Kertas. Nah, novel ini diselesaikan oleh
Dee selama 60 hari atau 2 bulan. Alih-alih Karen bisa diwujudkan menjadi sebuah buku yang
kemudian dipajang di rak toko buku, bersanding dengan karya
sastra lainnya, seperti kutulis di atas, aku malah menghentikannya
ketika Karen sampai pada seri ke-36, bahkan tanpa
memmerdulikan kelanjutan cerita berikutnya. Sempat terpikir
ingin melanjutkan seri ke-37 dan seterusnya.Tetapi sia-sia belaka
karena tidak lama setelah rehat dari Karen, aku memutuskan
melakukan deactivate terhadap akun Facebookku yang telah
berjasa dalam memopulerkan cerita Karen.
Hendak ditulis dimana lagi Karen itu? Pelan-pelan, dan sejalan
dengan kesibukanku yang justru kian bertambah, kendati aku
sulit melupakan Karen, pada akhirnya aku betul-betul berada pada
suatu titik nadir. Mungkin boleh dikatakan, Karen merupakan
proyek, yang kalau tidak gagal, setidaknya masih jauh dari berhasil
kalau key perfomance indicator-nya adalah publikasi dalam bentuk
buku (novel).
Namun apa kuasaku melarang terhadap satu-dua orang, atau
bisa lebih yang mengajak ngobrol kelanjutan Karen jika bertemu
denganku. “Pak, bagaimana kelanjutan Hisyam dalam cerita
Karen dulu itu?” Aku sama sekali tidak menyangka diberondong
dengan pertanyaan semacam itu oleh seorang kawan. Kawanku,
sebut saja Andin, yang juga menjadi kawan saat aku aktif di
Facebook. Sebagai kawan, wajar kalau cerita tentang Karen
sesekali diikuti. Ketertarikan Andin pada Karen kian melonjak
begitu aku tambahkan tokoh baru bernama Hisyam. Aku tidak
lagi bisa mengingat peran yang dilakoni oleh tokoh bernama
Hisyam itu. Wajar Andin selalu mengingat Hisyam Karena secara
kebetulan, Hisyam kata Andin adalah nama anaknya. “Kok tidak
dilanjutkan lagi cerita Hisyam itu?” Tanya Andin. “Facebook sudah
deactivate,” jawabku singkat. Kawan di Facebook tidak sedikit yang kaget karena aku
merambah dunia tulis-menulis yang berbeda dengan tulisanku
yang biasanya akademis, atau setidaknya ilmiah populer.
Sementara gaya tulisan dalam cerita Karen lebih renyah dan
mengalir. Kok bisa? Kalau saja aku tidak diperjumpakan dan
mengenal seseorang, Karen tidak mungkin muncul. Jadi, cerita
tentang Karen itu terinspirasi oleh kisah nyata atau based on true
story. Aku tertarik pada pergulatannya dalam memahami makna
cinta, dan pada akhirnya menemukan apa yang dicarinya setelah
melewati jalan berkelok dan terjal. Dan dalam proses pencarian
itu, sebagaimana yang selalu dihadapi oleh setiap manusia, selalu
ada “drama”. Gejolak sebagai akibat dari munculnya kejadian
yang sebenarnya tidak kita inginkan, itulah drama.
Karen sebenarnya cermin kita. Atau, Karen adalah
representasi dari kehidupan kita. Drama dalam kehidupan Karen,
berawal dari munculnya perasaan paling primitif dalam kehidupan
manusia ini, yang pada fase-fase berikutnya bisa disebut dengan
cinta. Adakah di antara kita yang tidak memiliki perasaan cinta?
Kita bisa saja merujuk pada beragam literatur sekedar mengurai
tipologi perasaan cinta yang muncul pada diri kita dan orang lain.
Pernahkah Anda mengalami apa yang dalam literatur filsafat
disebut dengan “cinta Platonik”? Yakni, cinta yang disifati dengan
pemikiran filsuf yang menjadi muridnya Socrates dan gurunya
Aristoteles, yaitu Plato. Plato merupakan filsuf Yunani yang dikenal
sebagai peletak dasar idealisme. Alih-alih wujud empirik yang
inderawi sebagai kenyataan, justru ide, tegas Plato. Cinta,
sederhananya bisa diartikan, munculnya perasaan tertarik disertai
keinginan merajut hubungan yang intim dengan orang lain. Lalu
Platonik, karena yang senyatanya adalah ide, maka “cinta
Platonik, ya cinta dalam arti sesederhanya itu, tetapi (jadi ada
tetapinya) tidak ingin dilanjutkan pada keintiman secara fisik. Bisa dikatakan, mencintai (orang lain) sebatas pemikiran atau ide. Cinta
semacam ini, “cinta Platonik”, mungkin jarang dijumpai karena
biasanya orang “memburu” apa yang disebut dalam mitologi
Yunani dengan “eros”, suatu perburuan yang pada akhirnya
berujung pada kemelekatan dan kemenyatuan secara fisik dalam
suatu biduk rumah tangga. “Eros” memang belum ideal. Ada
ungkapan lagi yang disebut dengan “agape” yang bisa dipahami
dari pemikiran filsuf Prancis, Gabriel Marcel, tentang “kekitaan”
yang dibangun melalui dialektika antara “aku” dan “engkau”.
Semangat “kekitaan” melampaui fisik, “eros”. Jika dalam Islam
ada “mawaddah wa rahmah”, maka “kekitaan” itu, ya
“warahmah” itu.
Karen remaja, tepatnya ketika masih di bangku SLTA,
sebagaimana lazimnya remaja pada umumnya, bertaut bahkan
begitu mendalam dengan seorang remaja, yang katanya lebih
berpenampilan “selenge’an”, tidak begitu “ganteng”, dengan
postur badan jamaknya orang Indonesia: tidak pendek dan tidak
tinggi. Yana, begitu nama yang disebut oleh Karen. Begitulah
rahasia cinta. Perwujudan cinta Karen, seperti yang dituturkan
padaku, memenuhi semua unsur fundamental cinta: care
(perhatian), responsibility (tanggung jawab), respect
(penghargaan), dan knowledge (pengetahuan). Sintesis dari
semua unsur fundamental itu adalah kesetiaan. Karen kehabisan
kata-kata ketika diminta mendeskripsikan perwujudan kesetiaan.
Lalu air mata yang berjatuhan. Kesetiaan Karen tidak berbuah
manis menjadi “eros” dan “agape”. Karen harus merelakan orang
yang disikapi dengan penuh kesetiaan, mewujudkan “eros”
dengan perempuan lain. Inilah drama itu!
Cinta tidak bisa dipaksanakan, bahkan oleh orang tua
sekalipun yang darinya limpahan cinta yang begitu mengalir jernih.
Karen tidak hanya bersitenggang dengan kedua orang tuanya yang coba memperjumpakan Karen dengan pria lain, begitu Karen
melewati fase pertama dengan seorang remaja yang masih satu
sekolah dengannya. Ketegangan dengan kedua orang tua adalah
fase kedua dalam hidup Karen.
Seingatku, cerita Karen yang berhenti pada seri ke-36, telah
sampai pada cerita itu. Lalu kelanjutannya? Facebookku terlanjur
deactivate. Pada Karen seri ke-36 yang selesai kutulis pada 1
September 2013, Minggu dini hari, aku menambahkan kalimat
seperti ini: “Cerita tentang Karen yang terinspirasi oleh kisah nyata
seseorang untuk sementara berhenti pada seri ke-36. Kepada
narasumber Karen, aku merasa berhutang budi, karena itu layak
diberi ucapan terima kasih secara tulus. Ucapan terima kasih juga
ingin kusampaikan kepada teman-teman FB yang rajin
berkomentar. Menulis Karen merupakan caraku menjelajahi dunia
rasa”.
Eureka!
Setelah tidak tersentuh selama hampir 4 tahun, akhirnya
Karen bisa diterbitkan. Aku ingin berterima kasih kepada banyak
pihak yang mendukung penerbitan novel ini. Tanpa menguragi
apresiasi kepada banyak pihak yang telah berkontribusi, aku ingin
menyebut tiga orang saja. Dua orang pertama yang ingin kusebut
adalah I’an dan Dew. I’an telah memberikan koreksi terhadap
beberapa kesalahan teknis. Lalu, Dew, mahasiswaku pada program
pascasarjana, sangat antusias dengan naskah yang
kusodorkan sebelum Dew berangkat untuk mengikuti Erasmus
Mundus Programme di Spanyol. Di sela-sela kesibukannya
mengikuti program ini, Dew menyempatkan membaca dan
memberikan koreksi, bahkan Dew menyumbang puisi bertajuk,
Incredible Love yang disertakan dalam novel ini.Kemudian yang kedua, aku ingin mengulang ucapan terima
kasih yang tulus kepada nara sumber novel ini yang kulekatkan
kepadanya sebuah nama imajinatif, Karen. Kalau saja Karen tidak
bertutur secara mengalir, tentu pada beberapa episode kehidupan
yang dinarasikan menggugah emosi, lalu air mata tumpah, novel
ini tidak akan lahir. Di sela-sela kesibukannya yang lumayan padat,
baik karena menunaikan tugas publik maupun domestik, Karen
bahkan masih mau menyediakan waktunya untuk memberikan
sentuhan kepada novel ini. Hasil koreksi dan revisi terhadap novel
ini, tidak diserahkan kala situasi normal. Karen harus menerobos
hujan yang lumayan deras. Bukan hanya koreksi yang ditujukan
kepada kesalahan-kesalahan yang bersifat teknis, tetapi juga
kepada substansi cerita. Karen, misalnya, menghapus nama-nama
yang tidak konsisten dalam melakoni peran.