Islam datang di daratan Arab di saat banyak penyelewengan dan konflik sosial merajalela. Kesenjangan sosial yang besar, perampokan, dan pembunuhan menjadi hal lumrah. Konflik sosial yang paling kentara adalah peperangan antar suku. Fanatik suku menjadi salah satu alasan berseteru untuk menemukan solusi. Seolah tak ada cara lain dalam menyelesaikan konflik selain mengangkat pedang.
Yaum Bi’ats menjadi perselisihan yang terkenal yang melibatkan kabilah Aus dan Khazraj di Madinah. Menurut Ibnu Hajar al Asqalani perang ini berlangsung selama 30 tahun (Fathul al Bari, 2/441). Kemudian perang Al Basus yang disebabkan oleh seekor unta dan berkobar hingga 40 tahun (Ayyamul Arab fi al-Jahiliyah, Muhammad, Jad: 142). Lalu perang Fijar, terjadi saat Nabi Muhammad berusia 20 tahun. Disebut Fijar karena dinodainya kesucian bulan haram (alKamil fi at-Tarikh, 1/527-532 dan 598-607).
Nabi Muhammad sebagai ikon Islam saat itu memiliki peran vital dalam meredam konflik di tanah kelahirannya, Makkah. Beragama inovasi dan nasihat disebarkan untuk mencapai perdamaian. Anjuran untuk bersaudara dengan non-muslim tidak dilarang Islam selama mau menghormati hak-hak umat Islam. Memutuskan perkara seadil-adilnya menjadi ajaran penting Islam dalam menegakkan perdamaian, “...Fahkum bainahum bil qisthi. Innallah yuhibbul muqsithiin (Al Maidah: 42). Secara konstitusi Nabi pernah membuat semacam undang-undang penting yang menginspirasi umatnya hingga saat ini. Sebut saja Perjanjian Hudaibiyah, baitul aqobah 1, baitul aqobah 2, dan yang paling fenomenal adalah Piagam Madinah.
Realitas sejarah menunjukkah bahwa Islam adalah agama rahmat, membawa perdamaian, dan menentang perpecahan. Oleh sebab itu, Nabi menjadi utusan untuk Rahmatan lil Alamin. Agama Islam di zaman Nabi mampu menyatukan Aus dan Khazraj, Muhajirin dan Ansar, merevisi budaya kotor jahiliyah, dan berlaku ihsan pada musuh-musuhnya ketika beliau menaklukkan Makkah.
Setelah Nabi Muhammad wafat dan Islam menyebar ke berbagai penjuru, maka Islam memasuki zaman yang situasi, kultur, dan sosialnya jauh berbeda dengan situasi asalnya, maka timbullah perpecahan pemeluknya karena pemahaman
Yang berbeda. Bahkan hingga saat ini.
Memandang konflik sebagai bagian dari Sunnatullah adalah keniscayaan. Tak mungkin konflik dihilangkan selama manusia masih ada. Konflik harus dikelola demi kemaslahatan bersama. Sehingga titik fokusnya adalah bukan bagaimana menghilangkan konflik tapi bagaimana mengelola konflik. Salah satu cara pengelolaan konflik adalah dengan menggali khazanah Islam dalam mengatasi konflik.
Majalah Tebuireng edisi ini mencoba menjawab tantangan perpecahan dan konflik sosial dengan menghadirkan solusi-solusi yang dimiliki Islam. Disesuaikan dengan kondisi terkini dan berbagai modifikasi. Untuk kemudian (semoga) mampu menjadi pijakan pembaca dalam menyelesaikan konflik horizontal yang sering terjadi di masyarakat kita. Wallahu a’lam bis sowab.