Mendefinisikan ulama, KH. Hussein Muhammad menyitir sajak Maulana Jalaludin Rumi. Ulama, bagaikan sebuah pohon yang ditanam di tanah yang subur. Tanah itu menjadikan pohon berdiri kokoh dan kuat dengan daun-daun yang menghijau. Ia memekarkan bunga dan menghasilkan buah yang lebat. Meski ia menghasilkan bunga dan buah itu, ia tak mengambilnya untuk diri sendiri.
Buah itu untuk orang lain dan diambil oleh mereka. Jika manusia dapat memahami bahasa pohon itu, maka ia berkata, “Kami diajari untuk memberi dan bukan untuk meminta.”
Diskursus tentang peran perempuan dalam kehidupan bermasyarakat bukanlah hal baru. Sebab sejak zaman penjajahan banyak perempuan atau wanita yang turut serta melawan penjajah. Bahkan di antaranya menjadi pempimpin perlawanan. Seperti Martha Christina Tiyahahu dari Maluku, Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meutia dari Aceh. Ada pula pemimpin di bidang lain seperti Nyai Walida Ahmad Dahlan dari Yogyakarta, Rahmah el Yunusiyah dari Sumatera Barat, Nyai Khoiriyah Hasyim dari Jombang dan seterusnya.
Jika pada masa penjajahan, perjuangan merebut kemerdekaan bergantung pada karisma seorang pemimpin, maka sejak 1908 tidak demikian. Karena yang menentukan adalah tata nilai baru yang dilembagakan dalam bentuk organisasi yang maju. Rakyat bergerak bersama dalam suatu wadah yang tersusun dan teratur. Dan pimpinannya dipilih oleh orang-orang yang tergabung dalam organisasi tersebut.
Berdirinya organisasi-organisasi kebangsaan diiringi pula oleh kelahiran organisasi-organisasi kebangsaan wanita Indonesia dengan berbagai latar belakang dan tradisi. Seperti Kongres Wanita Indonesia (Kowani), Wanita Syarikat Islam Indonesia (wanita PSII), Muslimat NU, Aisyiyah (milik Muhammadiyah), Persistri (wanita Persis) dan lain sebagainnya. Pada dasarnya, gerakan organisasi berbagai corak dilandasi oleh cita-cita yang sama, yaitu berjuang menggapai kemerdekaan sebagai bangsa.
Pasca kemerdekaan, organisasi-organisasi wanita terus menjamur dan berkembang untuk memberdayakan kaum perempuan yang sebelumnya tidak memiliki ruang yang cukup dalam beraktivitas dan berkreatifitas. Seperti Muslimat NU yang bergerak aktif dalam memberikan arah dan menjaga perkembangan pergerakan kaum wanita agar sesuai dengan nilai dan ajaran agama Islam.
Munculnya berbagai kegiatan untuk tetap menjaga keutuhan dan kekompakan ulama perempuan adalah gerakan positif. Tentu saja, tanpa niatan menggalahkan ulamaulama lainnya. Melainkan untuk maju bersama menjaga keutuhan bangsa dan tetap setia menebar kebaikan di tengah masyarakat.
Dalam sajian edisi kali ini, bisa dikatakan edisi yang spesial. Sebab di dalamnya fokus menyorot peran ulama perempuan yang begitu besar dan dilupakan atau sengaja dilupakan oleh sejarah, juga tentang sesuatu yang akan memotivasi generasi perempuan saat ini agar terus berusaha bermanfaat bagi sekitar dan tak lupa berjuang untuk kebahagian di dunia dan akhirat. Allahu a’lam