Perselisihan dan chaos akhir-akhir ini kembali memunculkan perdebatan antara Pancasila dan Islam, antara Keindonesiaan dan Keislaman. Sehingga menyulut sumbu perpecahan yang dikhawatirkan merusak rumah bersama yang kita sebut Negara Indonesia. Negara yang lebih dari 71 tahun kita jaga dan rawat dalam perbedaan yang beragam dan bermacam-macam. Perbedaan yang sama sekali tidak perlu dipermasalahkan apalagi menimbulkan perpecahan.
Perdebatan berat dan pelik tentang dasar negara sudah terjadi sejak sidang BPUPKI dan PPKI. Hingga kemudian muncul Piagam Jakarta pada 22 Juli 1945 dengan sila pertama berbunyi, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Namun, sehari sebelum pengesahan rancangan undang-undang tanggal 18 Agustus 1945 diurungkan, karena ada beberapa kelompok yang menyatakan tidak akan bergabung dengan Indonesia jika sila pertamanya masih seperti itu.
Kemudian Bung Hatta mengundang tokoh-tokoh Islam, salah satunya KH. A. Wahid Hasyim untuk membicarakan persoalan tersebut. Dengan jiwa besar, mereka setuju menghapus tujuh kata dari sila pertama Piagam Jakarta dan merubahnya menjadi Ketuhanan yang Maha Esa. Menurut Dr. Nucholish Majid, perubahan sila pertama dari “Ketuhanan” menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa” sebagai pengimbang dari penghapusan tujuh kata, apakah tidak justru lebih baik daripada Piagam Jakarta? Mengapa? Rumusan Ketuhanan yang Maha Esa jauh lebih prinsipil daripada “dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, sebab hal itu merupakan penegasan terhadap asas Tauhid.
Perpaduan Pancasila dan Islam semakin padu seiring sikap NU yang menerima Pancasila sebagai asas negara yang dipelopori oleh KH. Achmad Siddiq dan diikuti oleh ormas-ormas Islam lainya. Mengutip pendapat KH. Achmad Siddiq, Pancasila dan Islam bukanlah dua hal yang harus dipilih salah satu sambil membuang yang lain. Keduanya dapat berjalan dan saling mengukuhkan, tidak bertentangan dan tidak boleh dipertentangkan. Keduanya tidak saling mengalahkan bahkan saling menunjang, saling melengkapi, harus bersama-sama dilaksanakan dan diamalkan.
Negara Indonesia berdasarkan Pancasila yang sila pertamanya Ketuhanan yang Maha Esa, tidak berarti negara Indonesia adalah teokrasi atau negara berdasarkan suatu agama tertentu.
Sebaliknya, dengan sila pertama itu, negara kita bukan negara sekuler, agama terpisah dari negara dan negara tidak campur tangan dalam agama. Dalam negara Pancasila, negara mempunyai peranan penting dalam pembangunan di berbagai sektor, termasuk sektor agama dan sebaliknya juga, agama mempunyai peranan penting dalam pembangunan bangsa dan negara. Maka perwujudan dari jalan tengah antara negara Islam dengan negara sekuler, yaitu negara Pancasila yang religius.