Semua habib yang nasabnya bersambung kepada Nabi Muhammad Saw, mau tidak mau pasti lewat seorang perempuan, yaitu Fatimah al-Zahra, begitulah kehendak Tuhan. Makanya Mbah Moen sering berpesan: “Jangan berani menyepelekan nasab dari ibu!”
Kalimat di atas diucapkan oleh Gus Baha’ dalam salah satu pengajiannya untuk mengingatkan kita bahwa peran dan jasa perempuan tidak bisa dianggap remeh. Ya, meremehkan perempuan sayangnya sering terjadi dalam kehidupan kita. Sikap meremehkan ini tidak jarang berujung pada tindak kekerasan dan kezaliman. Ketika dihubungkan dengan Islam, tentu Islam tidak menghendaki adanya kezaliman. Namun, diakui atau tidak, ajaran-ajaran Islam ternyata banyak yang menomorduakan perempuan daripada laki-laki.
Ajaran Islam yang menomorduakan perempuan telah melebur dalam berbagai dimensi kehidupan. Dalam pernasaban, jalur ayah yang dipilih sebagai nasab formal. Dalam keluarga, laki-laki yang dipilih menjadi kepala. Dalam perwalian, laki-laki juga yang diprioritaskan. Dalam waris, perempuan mendapat setengah bagian laki-laki. Hal ini kemudian melahirkan pertanyaan, apakah Islam tidak mengapresiasi perempuan?
Majalah Tebuireng edisi ini berusaha mendudukkan problematika status perempuan dalam Islam. Feminisme atau gerakan kesetaraan gender dikaji dengan kaca mata keislaman. Melalui telaah historis, fikih, tafsir, hadis, hingga realitas kontemporer, diketahui bahwa Islam secara mendasar tidak merendahkan perempuan, bahkan kehadirannya bertujuan untuk mengangkat derajat mereka. Namun, seiring berjalannya waktu, nasib perempuan mengalami pasang surut.
Hari ini, menghargai perempuan telah menjadi cara pandang yang diterima oleh mayoritas kalangan. Hanya saja, untuk mempraktikkannya secara total seringkali terhalang oleh bermacam rintangan. Tradisi, budaya, pranata sosial, gengsi, rasa malu, dan lain sebagainya adalah contoh di antaranya. Ketika perempuan mampu melampaui rintangan tersebut, problem kesetaraan gender tidak akan menjadi momok.
Sudah banyak sosok perempuan yang membuktikan kemampuannya dalam berperan. Di edisi yang lalu, Majalah Tebuireng pernah menyajikan tema ulama perempuan asli Indonesia yang memiliki jasa hingga taraf nasional pun internasional. Tentu saja prestasi tersebut tidak diperoleh dengan mudah. Upaya kesetaraan gender dalam Islam di masa kini salah satunya bertujuan untuk mempermudah hal itu.
Menarik untuk disinggung sekilas, KH. Husein Muhammad dalam artikel sajian utama edisi ini mengatakan bahwa hukum-hukum fikih yang menyengsarakan perempuan lambat laun ternyata mulai ditinggalkan (baca: tidak dipraktikkan) oleh masyarakat pesantren. Realitas tersebut memberi harapan cerah bahwa nasib perempuan, khususnya dalam Islam, mengalami peningkatan seiring berjalannya waktu. Bersama dengan hal itu, semoga segala masalah yang menjadi imbas atas ketidaksetaraan gender dapat terkikis dan sirna. Amin.