-> -> bit.ly/andini-citras <- <-
*
Keunggulan Ebook ini:
- Halaman Asli, tersedia header dengan judul bab
- Baca dengan keras, Menjadi audio book dengan dibacakan mesin berbahasa Indonesia
- Teks Mengalir, menyesuaikan ukuran layar
- Ukuran font dan jarak antar baris kalimat bisa diperbesar atau perkecil sesuai selera
- Bisa ganti jenis font
- Warna kertas/background bisa diubah menjadi Putih, Krem, dan Hitam
----------
Daftar Isi
Kencan dengan Vera di Hotel Petamburan—1
Luar biasa Kamu Anto, Aku Puas Sekali Malam Ini—25
*
Sinopsis
Anto secara tidak sengaja bertemu dan berkenalan dengan wanita cantik di Atrium Senen Jakarta. Wanita itu bernama Vera , seorang janda muda beranak satu. Pucuk dicinta ulam tiba, setelah curhat panjang lebar, ajakan Anto untuk bermalam di hotel Petamburan direspon positif oleh Vera. Pergelutan hasrat dan desah nafaspun terjadi dikamar hotel itu.
*
Pratinjau
Pulang kantor jalanan masih agak macet. Kantorku berada di daerah Harmoni. Pada jam-jam sibuk tentu saja macet total. Langit agak mendung, tapi dugaanku sore sampai malam ini tidak akan turun hujan. Dengan langkah sedang aku keluar kantor dan berjalan ke arah Juanda, rencana naik bis dari sana saja. Maklum karyawan baru, jadi masih naik Mercy dengan kapasitas besar.
Sampai di Juanda aku cari bis kota tujuan ke Senen. Sebentar kemudian datang bis kota yang sudah miring ke kiri. Aku naik dan menyelinap ke dalam. Aroma di dalam bis sungguh rruarr biasa. Segala macam aroma ada di sana. Mulai dari parfum campur keringat sampai bau asap dan lain-lainnya.
Tak lama aku sampai di Senen. Turun di Pasar Senen dan masuk ke dalamnya. Ada beberapa barang yang harus kucari. Putar sana putar sini enggak ketemu juga yang kucari. Malahan digodai sama kapster-kapster di salon lantai 2. Dengan kata-kata yang menjurus mereka merayuku untuk masuk ke salonnya. Kubalas saja godaan mereka, toh aku juga lagi enggak ada keperluan ke salon. Sekedar membalas dan menyenangkan mereka yang merayu untuk sekedar gunting, facial atau creambath.
Akhirnya kuputuskan untuk cari di Atrium saja. Aku menyeberang di dekat jembatan layang. Memang budaya tertib sangat kurang di negara ini. Senangnya potong kompas dengan mengambil risiko.
Baru saja kakiku melangkah masuk ke dalam Atrium, mataku tertuju pada seorang wanita setengah baya, kutaksiri umurnya tiga puluh an tahun. Ia mengenakan blazer hijau dengan blus hitam. Pandangannya ke sana kemari dan gelisah seolah-olah menunggu seseorang. Aku lewat saja di depannya tanpa ada suatu kesan khusus. Sampai di depannya dia menyapaku.
“Maaf Mas mengganggu sebentar. Jam berapa sekarang?” tanyanya halus. Dari logatnya kutebak dia orang Jawa Tengah, sekitar Solo.
“Aduh, maaf juga Mbak, aku juga tidak pakai jam,” sambil kulihatkan pergelangan tanganku.
“Mbak mau kemana, kok kelihatannya gelisah?” tanyaku lagi.
“Lagi tunggu teman, janjian jam setengah lima kok sampai sekarang belum muncul juga” jawabnya.
“Ooo..” komentarku sekedar menunjukkan sedikit perhatian.
“Mas mau ke mana, baru pulang kantor nih?” dia balik bertanya.
“Iya, mau beli sesuatu, tadi cari di Proyek enggak ada, kali-kali aja ada di Atrium”.
Akhirnya meluncurlah dari mulut kami beberapa pertanyaan basa-basi standar.
“Oh ya dari tadi kita bicara tapi belum tahu namanya, aku Vera,” katanya sambil mengulurkan tangan.
“Anto,” sahutku pendek, “OK Vera, aku mau jalan dulu cari barang yang aku perlukan”.
“Silakan, aku masih tunggu teman di sini, barangkali dia terjebak macet atau ada halangan lainnya”.
Kami berpisah, aku masuk ke dalam dan langsung ke Gunung Agung. Kulihat Vera masih menunggu di pintu Atrium. Setengah jam keliling Gunung Agung ternyata tidak ada barang yang kucari. Kuputuskan pulang saja, besok coba cari di Gramedia atau Maruzen. Aku keluar dari pintu yang sama waktu masuk, arah ke Proyek. Kulihat Vera masih juga berdiri di sana. Kuhampiri dia dan kutanya.
“Masih ada disini, belum pulang?”. “Ini mau pulang, besok aja kutelpon dia ke kantor,” jawabnya.
“Mbak naik apa?”
“Oh, aku bawa mobil sendiri, meskipun butut”.
“OK, kalau begitu aku pulang, aku naik Mercy besar ke Kampung Melayu”.
Dia kelihatan agak berpikir. Baru pada saat ini aku mengamati dia dengan lebih teliti. Tingginya kutaksir 158 cm, kulitnya kuning kecoklatan, khas wanita Jawa dengan perawakan seimbang. Rambutnya berombak sebahu, matanya agak lebar dan dadanya standar, 34.
“Kenapa, something wrong?” kataku.
“Enggak, enggak aku juga mau jalan lagi suntuk. Rumah aku di Cinere, jam segini juga lagi full macet” sambil memandangku dengan tatapan yang sulit kutafsirkan.
“Boleh aku temani,” sahutku asal saja. Jujur aku hanya asal berkata saja tanpa mengharap apapun. Dia menatapku sejenak dan akhirnya..
“Boleh saja, kalau enggak mengganggu” jawabnya.
Kami menuju basement tempat parkir mobilnya.
Dia memberikan kunci mobilnya padaku.
“Bisa bawa mobil kan?” tanyanya.
Aku terkejut, karena aku memang bisa nyetir mobil tapi masih belum lancar sekali dan tidak punyai SIM.
“Aduh, so.. Sorry, jangan aku yang bawa. Aku enggak punya SIM,” kataku mengelak.
“Baiklah kalau begitu, biar aku sendiri yang bawa,” katanya sambil tersenyum.
Vera naik mobil dan membukakan pintu sebelah kiri depan dari dalam. Mobilnya Suzuki Carry warna merah maron. Kulihat di atas jok tengah berserakan map dan kertas.
“Kemana kita?” katanya.
“Terserah ibu sopir saja, asal jangan ke Bogor, jauh” sahutku bercanda.
“Kita ke Monas saja deh” katanya sambil terus tetap menyetir.
Karena dia mengenakan rok span selutut, jadinya waktu duduk menyetir agak ke tarik ke atas, pahanya terlihat sedikit. Aku menelan ludah.
Monas terlihat sepi sore ini, jam di dashboard menunjukkan 17.55. Hanya ada beberapa mobil yang parkir di pelataran parkir. Vera memarkir mobilnya agak jauh dari mobil lainnya. Ia mematikan kontak dan membuka jendela. Kami tetap duduk di dalam mobil.
“Uffh, hari yang melelahkan”. Vera menyandarkan tubuh dan kepalanya pada jok mobil. Blazernya tidak dikancingkan sehingga dadanya kelihatan menonjol.
“Ngomong-ngomong Mas Anto ini kerja di mana?”
“Karyawan swasta, kantornya di Harmoni, Mbak Vera sendiri di mana?” balasku.
“Aku agen sebuah Asuransi BUMN, rencananya tadi dengan teman aku, Dewi, akan prospek di sebuah kantor di Kramat, makanya janjian di Atrium. Eh, dianya enggak datang. Oh iya, bagaimana kalau kita masing-masing panggil dengan nama saja tanpa sebutan basa-basi supaya lebih akrab. Toh umur kita enggak jauh berbeda. Aku tiga puluh lima, kutaksir kamu paling-paling tiga puluh”.
Ternyata taksiranku tepat, taksirannya meleset.
Waktu itu umurku sendiri baru dua puluh lima. Mungkin karena warna kulitku agak gelap dan berkumis maka wajahku kelihatan lebih tua. Tapi menurut teman-temanku baik perempuan ataupun laki-laki, dengan wajah cukup ganteng, tinggi 170 cm, perawakan tegap, berkumis dan dada berbulu aku termasuk idaman wanita.
Vera ternyata seorang janda dengan satu anak. Ketika kutanya kenapa dia bercerai, air mukanya berubah dan ia menghela napas panjang.
“Sudahlah, itu kenangan buruk dari masa laluku, tak usah dibicarakan lagi” katanya.
“Baiklah, maaf kalau sudah menyinggung perasaanmu,” kataku.
Senja semakin merambat, lampu jalan sudah mulai dinyalakan mengalahkan temaram senja. Di bawah lampu merkuri wajah Vera terlihat pucat. Tiba-tiba saja kami bertatapan. Vera terlihat sangat lelah, tapi bibirnya dipaksakan tersenyum. Entah bagaimana mulanya tiba-tiba saja tangan kananku sudah kulingkarkan di lehernya dan kurengkuh ia ke dalam pelukanku. Kucium bibir tipisnya dan ia membalasnya dengan melumat bibirku lembut. Kami saling memandang dan tersenyum.
“Anto, maukah kamu menemaniku ngobrol?”
“Lho, bukankah sekarang ini kita lagi ngobrol”.
“Maksudku, kita cari.. Nggh.. Tempat yang tenang”.
Kucium bibirnya lagi dan ia membalas lebih panas dari ciuman yang pertama tadi. Tanpa kujawab mestinya ia sudah tahu.