Pada zaman Hindia Belanda, ada 2 jalur utama sekolah dan 1 jalur khusus di pedesaan. Jalur utama pertama: Europesche Lager School (sekolah dasar, 7 tahun) – Hoogere Buger School (sekolah menengah, 5 tahun) yang hanya bisa diikuti anak Belanda dan segelintir anak pribumi. Jalur utama kedua: Hollandsche Inlandsche School (sekolah dasar, 7 tahun) – Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (sekolah menengah pertama, 3 tahun) – Algemeene Middelbare School (sekolah menengah atas, 3 tahun). Anak-anak pribumi membayar lebih mahal dibandingkan anak Belanda. Setelah lulus HBS atau AMS, lulusannya bisa bekerja, melanjutkan sekolah tinggi di Hindia atau melanjutkan sekolah tinggi di Belanda. Intelektual pejuang kemerdekaan kebanyakan adalah segelintir anak pribumi yang bisa menikmati salah satu dari jalur pendidikan ini.
Ada satu jalur lagi, Volkschool (sekolah rakyat, 3 tahun). Di sekolah rakyat, murid hanya diajarkan membaca, menulis dan berhitung. Di kemudian hari, sekolah rakyat dibagi menjadi dua: angka siji untuk anak priyayi/bangsawan dan angka loro untuk anak rakyat kebanyakan. Lulusannya tidak bisa melanjutkan sekolah, pilihannya hanya bekerja pada perusahaan atau lembaga yang membutuhkan keterampilan calistung.
Sekarang mari kita lihat gambaran besarnya. Apa yang terjadi pada pendidikan di Hindia Belanda? Apakah bangsa kita terdidik? Terdidik. Terbukti pada zaman Hindia Belanda lahir banyak intelektual yang kapasitas dan kontribusinya diakui hingga kini. Lalu apa masalahnya?
Diskriminasi! Pembatasan akses pendidikan berdasarkan suku bangsa dan strata sosial. Pendidikan hanya untuk kalangan tertentu saja. Itulah namanya pendidikan eksklusif, pendidikan yang hanya bisa diakses oleh orang kulit putih atau orang-orang berada saja.
Indonesia Merdeka mengikrarkan sebuah janji, mencerdaskan kehidupan bangsa. Mencerdaskan bangsa secara keseluruhan, bukan hanya anak-anak tertentu saja. Karena itu, pendidikan eksklusif yang menjadi watak pendidikan kolonial, sudah sepatutnya didobrak di zaman kemerdekaan ini.
Zaman penjajahan berlaku pendidikan eksklusif maka zaman Indonesia merdeka berlaku pendidikan inklusif, pendidikan untuk dan setiap anak. Pendidikan yang mengakomodasi beragam kondisi sosial ekonomi, beragam suku bangsa, beragam agama, beragam pandangan politik, dan beragam kondisi fisik psikologis anak. Ketika lingkungan pada umumnya masih membatasi akses, pendidikan selayaknya menjadi teladan dengan membuka akses dan memberi dukungan agar semua dan setiap anak bisa menjangkau akses tersebut. Pada titik ini, guru merdeka belajar yang menjadi pengungkit perubahan pendidikan inklusi.
Kita bisa mulai dari mengubah persepsi bahwa pendidikan inklusi hanya bermanfaat bagi anak penyandang disabilitas. Pendidikan inklusi adalah watak pendidikan bangsa merdeka! Kenyataannya, inklusivitas pendidikan bukan saja bermanfaat bagi anak-anak yang terhambat, tapi juga buat semua anak, dan juga buat guru. Pendidikan inklusi yang sejatinya mengajarkan pada kita semua menghadapi kenyataan hidup yang niscaya beragam. Belajar di sekolah inklusif berarti belajar menghadapi tantangan kehidupan nyata.
Temukan praktik pengajaran yang inklusif, pelajari dan sebarkan ke rekan guru yang lain. Bersama kita belajar dan menyebarluaskan pendidikan inklusif agar kita menjadi sejatinya bangsa merdeka!
Sekali merdeka, tetap merdeka belajar!
Rizky Satria KGB Tangerang Selatan Sekolah Cikal
Panji Irfan SMP Tunas Argo Seruyan IG :@panji26irfan FB : Panji Irfan
Iwan Apriana KGB Bandung SMPN 1 Nagreg FB : Iwan Apriana
Suhud Rois KGB Cimahi SD Peradaban Insan Mulia
IG : @suhudrois FB : Suhud Rois
Tika Awalini
IG :@tika_awalin FB : Tika Awalin
Marsaria Primadona Sekolah Cikal
IG :@missmetalguru FB : Pima Aditya
Ina Lina Paud Hidayah Surabaya
IG :@veenuz027 FB : Lina
Ina Wilma Kailola Sekolah Kembang
IG :@wilmakailola
Suhud Rois KGB Cimahi SD Peradaban Insan Mulia
IG : @suhudrois FB : Suhud Rois