Ini yang mengakibatkan perjuangan Aceh di pimpinan Tiro sungguh mahal harganya. Selama itu Aceh telah berubah menjadi ‘Serambi Kekerasan’. Ribuan orang meregang nyawa. Karena itu, andai capaian damai (MoU Helsinki 2005) tidak diisi dengan upaya memperbaiki diri Aceh ke yang lebih baik, niscaya mereka yang menamakan diri pahlawan harus bertanggungjawab terhadap ribuan nyawa yang hilang itu. Dan ini tidak boleh disepelekan. Sebab bentuk penyepelean itu bermakna pelanggaran terhadap titah perjuangan yang pantas mendapat ‘kartu merah.’
Harus diakui sekalipun hasil yng diperoleh tidak serevolusioner gagasanya, paling tidak berkat sikap kritis Hasan Tiro, Aceh berkesempataan menjadi lebih baik dengan hadirnya Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) yang merupakan salah satu butir dalam kesepakatan Helsinki. Itulah yang wajib disyukuri lahir dan bathin oleh seluruh elemen masysrakat Aceh.
Tanpa perlawanan kolektif yang diorganisir Hasan Tiro, kemungkinan besar Aceh masih diceupat (dijadikan sapi perah) oleh pemerintah pusat secara tidak senonoh atau saat ini Aceh pasti lebih apoh-apah (megap-megap) dari kondisi sekarang.
‘Kepergian’ Hasan Tiro menyisakan sejumlah misteri. Misteri perjuangannya hingga damai, sosok pengganti wali nanggroe, anaknya yang tak pernah menyertainya dan siapa yang akan menyelesaikan diary-nya The Price of Freedom: The Unfinished Story of Teungku Hasan di Tiro.